
Kenapa Harga Minyak Terbang Tinggi Usai AS Serang Iran? Harga minyak dunia melonjak drastis pada 23 Juni 2025, menyusul serangan udara Amerika Serikat (AS) terhadap tiga fasilitas nuklir Iran pada akhir pekan sebelumnya. Minyak mentah Brent sempat menembus US$81,40 per barel, level tertinggi dalam lima bulan, sementara West Texas Intermediate (WTI) mencapai US$78,40. Kenaikan ini dipicu oleh kekhawatiran gangguan pasokan minyak global, mengingat Iran adalah produsen minyak terbesar kesembilan dunia dan posisi strategis Selat Hormuz sebagai jalur perdagangan minyak utama. Insiden ini, yang merupakan eskalasi konflik AS-Israel melawan Iran, memicu ketidakpastian geopolitik yang mendorong premi risiko di pasar energi. Artikel ini mengulas penyebab kenaikan harga minyak, dampaknya, dan implikasi jangka panjang hingga Juni 2025. BERITA BOLA
Eskalasi Konflik Geopolitik
Serangan AS pada 21 Juni 2025 menargetkan fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan, yang diumumkan langsung oleh Presiden Donald Trump sebagai langkah untuk melemahkan program nuklir Teheran. Konflik ini berawal dari serangan Israel terhadap Iran pada 13 Juni, diikuti serangan balasan Iran ke Tel Aviv, sebelum AS terlibat langsung. Iran, yang memproduksi 3,99 juta barel minyak per hari, mengancam akan memblokade Selat Hormuz—jalur yang mengangkut 20% minyak dunia—sebagai respons. Kekhawatiran pasar terhadap potensi gangguan pasokan ini mendorong harga Brent naik 13% dan WTI 10% sejak konflik dimulai, dengan puncaknya pada 23 Juni ketika Brent ditutup di US$78,93 per barel.
Ketidakpastian Pasokan Minyak
Meski fasilitas nuklir yang diserang tidak langsung terkait produksi minyak, ancaman pembalasan Iran memperbesar risiko. Selat Hormuz, yang menghubungkan Teluk Persia dengan pasar global, menjadi titik kritis. Penutupan jalur ini, meski belum terjadi hingga 23 Juni, dapat mengganggu pasokan dari Iran, Arab Saudi, dan negara OPEC lainnya. Analis seperti Ibrahim Assuaibi memprediksi kenaikan harga lebih lanjut jika blokade terjadi, dengan Brent berpotensi menyentuh US$85 per barel dalam seminggu. Selain itu, pasar derivatif menunjukkan spekulasi tinggi, dengan selisih kontrak Brent Desember naik menjadi US$3,48, menandakan ekspektasi harga tinggi berkepanjangan.
Respons Pasar Global
Kenaikan harga minyak memengaruhi pasar global secara luas. Pada 23 Juni, bursa saham AS melemah, dengan Dow Jones turun 0,6%, sementara dolar AS dan emas menguat sebagai aset aman. Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,74% ke 6.787,14, tertekan oleh ketidakpastian geopolitik. Namun, saham minyak Indonesia seperti PT Medco Energi (MEDC) naik 3,15% dan PT Perusahaan Gas Negara (PGAS) 2,83%, mencerminkan sentimen positif di sektor energi. Kenaikan harga minyak juga memicu kekhawatiran inflasi global, terutama di negara importir seperti Indonesia, yang menghadapi tekanan neraca dagang dan potensi kenaikan harga BBM.
Dampak pada Ekonomi Indonesia: Kenapa Harga Minyak Terbang Tinggi Usai AS Serang Iran?
Indonesia, sebagai importir netto minyak, menghadapi risiko signifikan. Mohammad Faisal dari CORE Indonesia memperingatkan bahwa kenaikan harga minyak dapat memperlebar defisit transaksi berjalan dan memicu inflasi, menggerus daya beli masyarakat. Anggaran subsidi BBM Indonesia, yang mencapai Rp26,7 triliun pada 2025, berpotensi membengkak hingga Rp500 triliun jika Selat Hormuz ditutup. Namun, Kementerian Keuangan menyatakan ruang fiskal masih cukup untuk menahan inflasi melalui subsidi, dengan harga minyak saat ini (US$77,27) di bawah asumsi APBN 2025 (US$82). Selain itu, Indonesia bisa mendapat manfaat dari ekspor batubara dan gas alam, yang harganya naik seiring ketegangan.
Implikasi Jangka Panjang: Kenapa Harga Minyak Terbang Tinggi Usai AS Serang Iran?
Jika konflik berlanjut, harga minyak berpotensi tembus US$100 per barel, terutama jika Iran menggunakan senjata nuklir atau menutup Selat Hormuz, seperti diprediksi praktisi migas Hadi Ismoyo. Skenario terburuk Oxford Economics memperkirakan harga minyak mencapai US$130 per barel jika produksi Iran terhenti total. Namun, produksi minyak AS (13,4 juta barel/hari) dan cadangan OPEC+ yang meningkat dapat meredam dampak jangka pendek. Iran juga telah memindahkan material nuklirnya sebelum serangan, menunjukkan kesiapan strategis yang dapat memperpanjang ketegangan tanpa gangguan produksi langsung. Diplomasi, seperti mediasi Qatar atau Oman, menjadi kunci untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.
Kesimpulan: Kenapa Harga Minyak Terbang Tinggi Usai AS Serang Iran?
Harga minyak dunia melonjak usai serangan AS ke fasilitas nuklir Iran pada 21 Juni 2025 karena ketidakpastian pasokan dan ancaman blokade Selat Hormuz. Brent naik 13% sejak 13 Juni, mencapai US$78,93 per barel, didorong oleh eskalasi konflik AS-Israel-Iran. Dampaknya meluas, dari pelemahan bursa saham hingga risiko inflasi di Indonesia, meski subsidi BBM dapat meredam tekanan. Jangka panjang, harga minyak berpotensi tembus US$100 per barel jika konflik memburuk, tetapi diplomasi dan cadangan global dapat menstabilkan pasar. Hingga 23 Juni 2025, ketegangan ini menggarisbawahi sensitivitas pasar minyak terhadap geopolitik, menuntut kesiapan ekonomi global untuk menghadapi volatilitas.