AS Perluas Larangan Perjalanan Untuk Total 30 Negara. Pemerintahan Trump baru saja mengumumkan perluasan larangan perjalanan yang signifikan, menargetkan total lebih dari 30 negara mulai awal 2026. Langkah ini, yang diumumkan oleh Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem pada 4 Desember 2025, memperluas daftar dari 19 negara saat ini menjadi 30 hingga 32, sebagai respons terhadap ancaman keamanan nasional yang meningkat. Pemicu utamanya adalah penembakan dua anggota National Guard di Washington DC oleh seorang warga Afghanistan minggu lalu, yang memicu janji Trump untuk “menghentikan migrasi permanen dari negara-negara dunia ketiga”. Kebijakan ini, bagian dari “Operation Secure Borders”, membekukan visa non-esensial, perjalanan migran, dan penerimaan pengungsi dari negara-negara yang dianggap berisiko tinggi, sambil memperkenalkan skrining biometrik dan AI yang lebih ketat. INFO CASINO
Latar Belakang dan Negara yang Terlibat: AS Perluas Larangan Perjalanan Untuk Total 30 Negara
Larangan perjalanan pertama Trump pada 2017 menargetkan delapan negara mayoritas Muslim, kemudian diperluas menjadi 19 termasuk Venezuela, Korea Utara, dan beberapa negara Afrika serta Timur Tengah. Kini, penambahan 11–13 negara baru difokuskan pada wilayah dengan tingkat overstay visa tinggi dan sistem vetting keamanan lemah. Meski daftar lengkap belum dirilis, spekulasi mengarah ke Somalia, Yaman, Haiti, dan Venezuela yang sudah ada, plus tambahan seperti Sudan Selatan, Eritrea, dan negara-negara Amerika Latin dengan migrasi tinggi. Trump menekankan bahwa evaluasi terus berlanjut, dengan potensi penambahan lebih lanjut berdasarkan data intelijen. Tujuannya: mengurangi 2,5 juta pertemuan perbatasan tahun ini menjadi nol dalam waktu satu tahun, melalui deportasi massal 1 juta migran tak berdokumen per tahun dan percepatan pembangunan tembok perbatasan senilai 15 miliar dolar.
Alasan Keamanan dan Dampak Ekonomi: AS Perluas Larangan Perjalanan Untuk Total 30 Negara
Administrasi Trump menyebut penembakan National Guard sebagai “titik puncak” dari kegagalan sistem migrasi, di mana pelaku diduga memasuki AS melalui jalur visa yang lemah. Noem menambahkan bahwa negara-negara baru dipilih karena “risiko keamanan nasional yang tidak memadai”, termasuk kurangnya data biometrik dan kerjasama intelijen. Kebijakan ini juga menargetkan overstay visa, yang mencapai 700 ribu kasus tahun lalu, dengan harapan mengurangi ancaman terorisme dan kejahatan lintas batas. Di sisi lain, dampak ekonominya langsung terasa: remittances ke negara-negara terdampak bisa turun hingga 20 miliar dolar, menurut estimasi lembaga keuangan global, yang berpotensi memicu ketidakstabilan di ekonomi rapuh seperti Haiti atau Yaman. Bagi pelancong, biaya tiket naik karena rute alternatif melalui negara ketiga, sementara industri pariwisata AS kehilangan miliaran dari wisatawan internasional.
Reaksi Internasional dan Domestik
Reaksi datang cepat dari berbagai pihak. Uni Eropa menyatakan kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa memicu “efek domino” di perbatasan global, sementara PBB memperingatkan pelanggaran hak pengungsi. Di AS, Demokrat seperti Senator Chuck Schumer menyebutnya “xenofobia yang membahayakan aliansi”, sementara kelompok hak sipil memprediksi gugatan hukum serupa dengan era Trump pertama. Pendukung Trump, termasuk kelompok konservatif, memuji langkah ini sebagai “perlindungan akhir” bagi warga AS, dengan polling awal menunjukkan dukungan 55% di kalangan pemilih Republik. Secara domestik, maskapai penerbangan dan hotel besar sudah menyesuaikan jadwal, sementara komunitas imigran di kota-kota besar seperti New York dan Los Angeles menggelar protes damai menuntut transparansi daftar negara.
Kesimpulan
Perluasan larangan perjalanan ke lebih dari 30 negara menandai eskalasi kebijakan Trump untuk mengamankan perbatasan AS di tengah tahun yang penuh gejolak migrasi. Meski bertujuan melindungi keamanan nasional, langkah ini berisiko memperlemah hubungan diplomatik dan ekonomi global, sambil menimbulkan beban bagi pelancong dan migran yang sah. Dengan “Operation Secure Borders” sebagai payung, pemerintahan ini berjanji evaluasi berkelanjutan, tapi tantangan hukum dan internasional pasti akan menguji ketahanannya. Bagi AS, ini bukan hanya soal batas fisik, tapi juga visi nasional di era ketidakpastian—apakah prioritas keamanan akan mengorbankan keterbukaan, atau justru memperkuatnya? Waktu akan tunjukkan, tapi satu hal pasti: dunia perjalanan internasional tak lagi sama.