
KPK Menahan 4 Tersangka Dalam Kasus Pemerasan Izin TKA. Kimisi Pemberatasan Korupsi (KPK) kembali menunjukan kehebatannya dalam menahan empat tersangka dalam kasus pemerasan terkait pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing di Kementerian Ketenagakerjaan pada tanggal 17 juli 2025. Total delapan tersangka telah ditetapkan dalam kasus ini, dengan praktik korupsi yang diduga berlangsung sejak 2019. Modusnya? Memeras agen dan perusahaan TKA dengan mengulur proses perizinan. Kasus ini mencoreng sistem perizinan tenaga kerja dan menimbulkan kerugian besar. Mengapa pemerasan ini terjadi, siapa saja tersangkanya, dan berapa kerugiannya? Berikut ulasannya! BERITA LAINNYA
Kenapa Pemerasan Izin TKA Ini Bisa Terjadi?
Pemerasan ini bisa terjadi karena adanya celah dalam sistem verifikasi RPTKA,lebih tepatnya dokumen wajib bagi tenaga kerja asing untuk bekerja di Indonesia. Proses pengajuan dilakukan secara daring oleh agen, dengan verifikasi berjenjang di Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta & PKK) serta Direktorat Pengendalian Penggunaan TKA (PPTKA). Para tersangka diduga sengaja menunda proses atau tidak memberi tahu kekurangan berkas jika pemohon tidak membayar “uang pelicin.” Ancaman denda Rp1 juta per hari untuk TKA tanpa izin memaksa perusahaan menyerahkan uang agar perizinan cepat selesai. Praktik ini berlangsung sistematis, melibatkan pejabat tinggi hingga staf, dan berjalan selama bertahun-tahun, bahkan sejak era menteri sebelumnya, menunjukkan lemahnya pengawasan internal di Kemnaker.
Siapa Keempat Sosok Tersebut: KPK Menahan 4 Tersangka Dalam Kasus Pemerasan Izin TKA
Keempat tersangka yang ditahan KPK pada 17 Juli 2025 adalah Suhartono, mantan Direktur Jenderal Binapenta & PKK Kemnaker periode 2020-2023; Haryanto, Direktur PPTKA 2019-2024 yang kemudian menjadi Dirjen Binapenta & PKK 2024-2025 dan kini Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Internasional; Wisnu Pramono, Direktur PPTKA 2017-2019; dan Devi Angraeni, Koordinator Uji Kelayakan PPTKA 2020-2024 yang kemudian menjadi Direktur PPTKA 2024-2025. Mereka ditahan di Rutan Cabang Gedung Merah Putih KPK hingga 5 Agustus 2025. Empat tersangka lain yang juga terlibat namun baru diperiksa pada 24 Juli 2025 adalah Gatot Widiartono, Koordinator Analisis dan PPTKA 2021-2025; Putri Citra Wahyoe, petugas hotline dan verifikator RPTKA 2019-2025; Jamal Shodiqin, analis tata usaha dan pengantar kerja 2019-2025; serta Alfa Eshad, pengantar kerja ahli muda 2018-2025. Mereka dijerat dengan pasal pemerasan dan gratifikasi sesuai UU Pemberantasan Korupsi.
Berapa Total Kerugian Yang Diterima Karena Kejadian Ini?
Dari tahun 2019 sampai 2024, praktik pemerasan ini dapat menghasilkan dana bersih sebesar Rp 53,7 Miliar, yang dikumpulkan dari agen dan perusahaan TKA nya sendiri. Uang ini tidak hanya dinikmati oleh delapan tersangka, tetapi juga diduga dibagikan kepada sekitar 85 pegawai Direktorat PPTKA sebagai “uang dua mingguan” senilai Rp8,94 miliar. KPK telah menyita Rp1,9 miliar uang tunai, Rp300 juta, dan sejumlah dokumen dari penggeledahan di Jakarta Selatan dan Timur. Para tersangka menggunakan dana ini untuk kepentingan pribadi, termasuk pembelian aset atas nama mereka sendiri atau keluarga. Hingga kini, Rp8,51 miliar telah dikembalikan ke negara melalui rekening penampungan KPK, menunjukkan skala kerugian besar akibat korupsi sistematis ini.
Kesimpulan: KPK Menahan 4 Tersangka Dalam Kasus Pemerasan Izin TKA
Penahanan empat tersangka oleh KPK dalam kasus pemerasan izin TKA di Kemnaker ini mengungkankan bahwa praktik korupsi yang terjadi selama 5 tahun lamanya dan merugikan negara dengan nilai total Rp 53,7 miliar. Dengan memanfaatkan celah verifikasi RPTKA, para pejabat dan staf memeras perusahaan demi keuntungan pribadi, mencoreng integritas Kemnaker. Penahanan ini menjadi langkah awal KPK untuk membersihkan sistem perizinan, dengan harapan pengawasan ketat dan reformasi dapat mencegah kasus serupa. Saat penyidikan berlanjut, publik menanti apakah KPK akan mengungkap keterlibatan pihak lain di level lebih tinggi, demi menegakkan keadilan dan transparansi di sektor tenaga kerja.