
Iran Membantah Mengembangkan Bom Atom. Dalam pidato nasional yang disiarkan dari Tehran pada 23 September 2025, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei kembali menegaskan bahwa negara itu tidak memiliki rencana untuk mengembangkan senjata nuklir. Pernyataan ini datang di tengah tekanan internasional yang semakin kuat, termasuk ancaman sanksi baru dari Eropa dan tuduhan dari Israel serta Amerika Serikat bahwa Iran hampir mencapai ambang nuklir. Khamenei menolak keras klaim tersebut, menyatakan bahwa pengayaan uranium Iran tetap di level yang diperlukan untuk tujuan sipil, bukan untuk bom. Latar belakangnya adalah perang singkat Iran-Israel pada Juni lalu, di mana serangan Israel menghancurkan fasilitas nuklir seperti Natanz, diikuti oleh dukungan AS yang membom tiga situs kunci Iran. Meski intelijen AS menyatakan Iran tidak sedang membangun senjata nuklir, stok uranium yang diperkaya hingga 60 persen—mendekati 90 persen untuk senjata—menimbulkan kekhawatiran global. Pidato Khamenei ini bukan hanya pembelaan, tapi juga sinyal bahwa Iran siap bernegosiasi dengan AS, meski menolak tuntutan pembatasan rudal balistiknya. Situasi ini memperburuk ketegangan di Timur Tengah, di mana program nuklir Iran menjadi pusat perdebatan antara hak damai dan ancaman proliferasi. BERITA BASKET
Mengapa Iran Menolak Untuk Kembangkan Bom Atom: Iran Membantah Mengembangkan Bom Atom
Iran menolak pengembangan bom atom karena komitmen ideologis dan strategis yang mendasar. Sejak 2003, program rahasia “Project Amad” dihentikan, dan Khamenei mengeluarkan fatwa yang menyatakan senjata nuklir sebagai “haram” atau dilarang dalam Islam. Ini bukan sekadar retorika; fatwa itu menjadi panduan kebijakan, menekankan bahwa Iran tidak membutuhkan senjata seperti itu untuk pertahanan. Sebagai penandatangan Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) sejak 1970, Iran menegaskan haknya untuk mengembangkan teknologi nuklir sipil, termasuk pengayaan uranium untuk pembangkit listrik dan isotop medis. Penolakan ini juga respons terhadap tekanan Barat: kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA) yang dirusak Trump pada 2018 memicu sanksi keras, tapi Iran tetap mempertahankan bahwa programnya transparan di bawah pengawasan IAEA.
Namun, penolakan ini diuji oleh realitas geopolitik. Setelah serangan Israel dan AS pada Juni 2025 yang merusak fasilitasnya, Iran menangguhkan kerjasama sementara dengan IAEA untuk alasan keamanan, tapi menjanjikan pengawasan melalui Dewan Keamanan Nasional Tertinggi. Wakil Menteri Luar Negeri Majid Takht-Ravanchi menyatakan bahwa meski kepercayaan terhadap AS rendah setelah “kerusakan serius” pada situs nuklir, Tehran tetap terbuka untuk diplomasi. Penolakan bom atom juga bagian dari strategi untuk menghindari isolasi lebih lanjut; dengan stok uranium yang cukup untuk selusin bom jika diperkaya lebih lanjut, Iran memilih jalur damai untuk menjaga dukungan dari Rusia dan China di PBB. Singkatnya, penolakan ini campuran antara prinsip agama, hak NPT, dan kalkulasi pragmatis untuk bertahan di tengah sanksi.
Apakah Jika Iran Membuat Bom Atom, Berbahaya Bagi Negara Lain
Ya, jika Iran berhasil mengembangkan bom atom, implikasinya bisa sangat berbahaya bagi stabilitas regional dan global. Pertama, itu akan memicu lomba senjata di Timur Tengah: Arab Saudi sudah menyatakan akan mengejar nuklir sendiri jika Iran melakukannya, sementara Turki dan Mesir mungkin mengikuti. Israel, yang diyakini memiliki ratusan hulu ledak nuklir meski tidak mengakui secara resmi, akan merasa terancam langsung—seperti terlihat dari serangan preventifnya pada Juni 2025 yang menargetkan ilmuwan nuklir Iran. Ancaman ini bukan hipotetis; intelijen AS memperkirakan Iran bisa memproduksi uranium senjata-grade untuk satu bom dalam seminggu dan tujuh bom dalam sebulan, memperpendek “waktu putus” dari bulan menjadi hari.
Dampaknya meluas: proliferasi bisa meningkatkan risiko konflik tidak sengaja, terutama dengan rudal balistik Iran seperti Shahab-3 yang mampu mencapai Eropa. AS dan Eropa khawatir ini akan mengganggu rute perdagangan minyak di Selat Hormuz, di mana 20 persen pasokan global lewat. Selain itu, bom Iran bisa memberdayakan proksi seperti Hizbullah dan Houthi, memperburuk konflik di Lebanon, Yaman, dan Gaza. IAEA memperingatkan bahwa uranium logam yang diproduksi Iran—yang tak punya kegunaan sipil kredibel—bisa digunakan untuk bom, menimbulkan “implikasi militer grave”. Trump sendiri mengklaim Iran “sangat dekat” dengan bom, meski intelijennya membantah, menunjukkan bagaimana narasi ini bisa memicu eskalasi militer. Secara keseluruhan, senjata nuklir Iran bukan hanya ancaman bagi Israel atau AS, tapi katalisator untuk ketidakstabilan yang bisa menyeret kekuatan besar ke perang regional.
Alasan Iran Tidak Ingin Membuat Bom Atom
Alasan utama Iran tidak ingin membuat bom atom berakar pada fatwa Khamenei sejak 2003, yang melarang senjata pemusnah massal sebagai bertentangan dengan ajaran Islam. Ini bukan formalitas; fatwa itu diulang dalam pidato terbaru, di mana Khamenei menyatakan Iran “tidak membutuhkan senjata seperti itu” dan tidak akan mengkaya uranium hingga 90 persen untuk bom. Secara strategis, pengembangan bom akan mengundang sanksi lebih parah dan risiko serangan militer, seperti yang terjadi pada Juni 2025 ketika Israel membunuh 14 ilmuwan nuklirnya. Iran lebih memilih program sipil untuk energi dan prestise nasional, dengan pengayaan 60 persen yang diklaim untuk reaktor penelitian.
Ekonomis, bom atom akan memperburuk krisis Iran yang sudah terpuruk akibat sanksi; ekspor minyaknya turun drastis sejak AS keluar dari JCPOA. Diplomatik, Iran bergantung pada aliansi dengan Rusia dan China untuk veto di PBB, dan bom akan merusak itu. Wakil Menteri Luar Negeri Takht-Ravanchi menegaskan bahwa meski AS menyerang fasilitasnya, Iran tidak akan membalas dengan proliferasi, tapi tetap enrich uranium sesuai NPT. Program AMAD yang dihentikan pada 2003 menunjukkan Iran pernah mempertimbangkan, tapi memilih jalur damai untuk menghindari “replikasi kebohongan Perang Irak”. Singkatnya, alasan ini gabungan antara etika, keamanan, dan kelangsungan hidup di panggung global.
Kesimpulan: Iran Membantah Mengembangkan Bom Atom
Pembantahan Iran atas tuduhan pengembangan bom atom, seperti yang ditegaskan Khamenei baru-baru ini, menegaskan posisi Tehran sebagai aktor yang bertanggung jawab di bawah NPT, meski stok uraniumnya menimbulkan keraguan. Penolakan ini, didasari fatwa dan kalkulasi strategis, menghindari eskalasi yang bisa memicu lomba senjata regional—tapi juga menantang kesabaran Barat yang melihatnya sebagai ancaman eksistensial. Dengan intelijen AS menyatakan tidak ada program senjata aktif, ruang untuk diplomasi terbuka, terutama setelah perang Juni yang merusak tapi tidak menghancurkan ambisi nuklir Iran. Ke depan, keseimbangan rapuh ini akan diuji oleh negosiasi potensial dengan AS, di mana Iran menuntut pengakuan haknya sementara dunia menuntut transparansi lebih. Jika gagal, Timur Tengah bisa melihat babak baru ketegangan, tapi pembantahan Iran saat ini menawarkan harapan untuk jalan damai.