Presiden Afsel Minta Israel bebaskan Aktivis Flotilla. Di tengah ketegangan Gaza yang tak kunjung usai, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa melontarkan seruan tegas: Israel harus segera bebaskan aktivis Flotilla yang ditangkap di perairan internasional. Pernyataan ini keluar pada 2 Oktober 2025, saat Ramaphosa bicara atas nama pemerintah dan rakyatnya, soroti penangkapan ratusan aktivis kemanusiaan dari Global Sumud Flotilla yang coba pecah blokade Gaza. Di antara tahanan ada Nkosi Zwelivelile “Mandla” Mandela, cucu Nelson Mandela, yang ikut misi bawa bantuan medis dan makanan. Israel, yang mencegat 13 kapal pada 1 Oktober, klaim tindakan itu demi keamanan, tapi Ramaphosa bilang ini langgar perintah ICJ soal akses bantuan kemanusiaan. Insiden ini picu gelombang kritik global, ingatkan dunia pada serangan Flotilla 2010 yang tewaskan sembilan aktivis Turki. Di awal Oktober 2025, saat Gaza hadapi krisis kelaparan, seruan Ramaphosa jadi panggilan moral yang tak bisa diabaikan—bukan cuma soal diplomasi, tapi hak asasi manusia. BERITA BASKET
Latar Belakang Insiden Global Sumud Flotilla: Presiden Afsel Minta Israel bebaskan Aktivis Flotilla
Global Sumud Flotilla berangkat dari Italia akhir September 2025, gabung aktivis dari 20 negara termasuk Swedia, Spanyol, dan AS, bawa 500 ton bantuan untuk Gaza yang diblokade Israel sejak Oktober 2023. Kapal-kapal ini, termasuk yang dinaiki Mandla Mandela, rencana sandar di pelabuhan Ashdod sebelum lanjut ke Gaza—tapi militer Israel naik kapal di perairan internasional, deteksi ratusan orang termasuk Greta Thunberg yang ikut sebagai juru bicara. Tindakan ini cepat: dalam hitungan jam, kapal-kapal disita, penumpang ditahan di fasilitas detensi Tel Aviv, dan bantuan disita dengan alasan “inspeksi keamanan”.
Ini bukan pertama kalinya; Flotilla 2010, Mavi Marmara, berakhir tragis dengan pasukan Israel tewaskan sembilan warga Turki, picu boikot global. Kini, di 2025, konteksnya lebih panas: Gaza hadapi krisis kemanusiaan parah, dengan 40 ribu korban tewas dan 90 persen penduduk bergantung bantuan. ICJ, yang perintahkan Israel buka akses bantuan Juli lalu, sebut intersepsi ini “pelanggaran berat”. Aktivis seperti Mandla Mandela, yang wakili Freedom Charter ANC, bilang misi ini simbol perlawanan damai terhadap “apartheid Israel”. Israel balas: kapal bawa “ancaman keamanan”, meski tak ada bukti senjata. Insiden ini tak cuma hentikan bantuan; ia buka luka lama, bikin Afrika Selatan—yang tuntut Israel di ICJ atas genosida—langsung gerak.
Seruan Ramaphosa: Diplomasi Moral Afrika Selatan
Cyril Ramaphosa tak buang waktu; pagi 2 Oktober, ia keluarkan pernyataan resmi via DIRCO, sebut penangkapan itu “penculikan di perairan internasional” dan tuntut pembebasan segera warga Afrika Selatan. “Atas nama pemerintah dan bangsa kami, saya minta Israel bebaskan para Afrika Selatan yang diculik, dan lepaskan Flotilla untuk lanjutkan misi kemanusiaan,” tegasnya, soroti Mandla Mandela sebagai “penerus perjuangan anti-apartheid”. Ramaphosa, yang pimpin tuntutan genosida di ICJ Desember 2023, lihat ini peluang tekan Israel—negara yang ia samakan dengan rezim apartheid lama.
Alasannya kuat: Afrika Selatan punya sejarah solidaritas Palestina sejak Mandela, yang sebut Yasser Arafat “sahabat”. Di 2025, dengan pemilu Afrika Selatan baru usai, Ramaphosa pakai isu ini kuatkan posisi ANC di mata pemilih progresif. Ia koordinasi dengan UE dan PBB, minta resolusi darurat untuk bebaskan tahanan. Tapi ini tak cuma retoris; Pretoria siap ambil langkah hukum di ICC jika Israel tak patuh. Respons Israel? Perdana Menteri Netanyahu sebut Flotilla “provokasi Hamas”, tapi tak sebut pembebasan—hanya janji “proses hukum adil”. Ramaphosa balas: “Adil itu bebaskan sekarang, bukan tahan tanpa alasan.”
Reaksi Global dan Dampak Potensial
Seruan Ramaphosa langsung picu efek domino. Turki, yang host inisiatif Flotilla, sebut intersepsi “pembajakan bajak laut”, tuntut PBB campur tangan. Greta Thunberg, dari tahanan, tweet via timnya: “Ini bukti blokade Gaza tak manusiawi.” UE, via Josep Borrell, minta akses konsuler ke tahanan, sementara AS—sekutu Israel—sebut “kebebasan berpendapat penting, tapi keamanan prioritas”. Di Afrika, serikat buruh COSATU ancam boikot barang Israel, tambah tekanan ekonomi.
Dampaknya luas: bantuan Flotilla tertahan bikin Gaza tambah kelaparan—WHO laporkan 500 ribu anak gizi buruk. Secara politik, ini kuatkan kasus ICJ Afrika Selatan, yang tuntut Israel hentikan operasi Gaza. Netanyahu hadapi demo di Tel Aviv soal tahanan, sementara Hamas puji Flotilla sebagai “perlawanan sipil”. Di 2025, dengan pemilu Israel dekat, isu ini bisa goyang koalisi Netanyahu. Ramaphosa, lewat seruannya, tak cuma bela warganya—ia angkat suara global untuk perdamaian, ingatkan dunia bahwa kemanusiaan tak boleh diblokade.
Kesimpulan: Presiden Afsel Minta Israel bebaskan Aktivis Flotilla
Seruan Presiden Ramaphosa agar Israel bebaskan aktivis Flotilla bukan sekadar diplomasi—ia panggilan moral dari bangsa yang tahu rasanya perlawanan. Dengan Mandla Mandela di tahanan dan Gaza haus bantuan, insiden 1 Oktober 2025 ini jadi pengingat: blokade bukan solusi, tapi jebakan. Saat PBB siap mediasi, harap pembebasan segera jadi langkah pertama ke gencatan. Afrika Selatan tunjukkan kepemimpinan: tegas, tapi damai. Dunia, dengar suara Ramaphosa—karena hak asasi tak kenal batas laut.