Trump Bisa Raih Nobel Perdamaian Jika Hentikan Agresi China. Di tengah ketegangan geopolitik Asia-Pasifik yang memanas, pernyataan berani dari Presiden Taiwan, Lai Ching-te, pada 7 Oktober 2025, mengguncang dunia. Lai menyatakan bahwa jika Donald Trump—yang kini menjabat sebagai Presiden AS—berhasil meyakinkan Xi Jinping untuk secara permanen meninggalkan agresi militer terhadap Taiwan, Trump pantas meraih Hadiah Nobel Perdamaian. Pernyataan ini muncul saat Lai bertemu dengan anggota Kongres AS di Taipei, di mana ia tekankan dukungan Washington sebagai kunci kestabilan regional. Dengan armada China yang semakin dekat ke Selat Taiwan dan latihan militer rutin, momen ini jadi sorotan: apakah Trump, dikenal dengan gaya diplomasi tegasnya, bisa ubah narasi perang menjadi perdamaian? Artikel ini kupas latar belakang ketegangan, rekam jejak Trump di panggung global, serta potensi dampaknya—semua di saat AS dorong reindustrialisasi dan kurangi ketergantungan pada rantai pasok China. MAKNA LAGU
Latar Belakang Ketegangan China-Taiwan dan Peran Strategis Trump: Trump Bisa Raih Nobel Perdamaian Jika Hentikan Agresi China
Ketegangan di Selat Taiwan bukan hal baru, tapi eskalasi 2025 bikin semua mata tertuju ke sana. China klaim Taiwan sebagai wilayahnya, dengan Xi Jinping yang perkuat narasi “reunifikasi” melalui latihan militer besar-besaran, termasuk simulasi blokade pada September lalu. Taiwan, di sisi lain, perkuat pertahanan dengan bantuan AS senilai miliaran dolar, termasuk rudal anti-kapal dan jet tempur. Lai Ching-te, yang dilantik Januari lalu, tolak “satu negara, dua sistem” ala Hong Kong, dan dorong dialog damai sambil siap perang.
Masuklah Trump, yang sejak kampanye 2024 janji “hentikan agresi China” dengan tarif dagang dan aliansi Indo-Pasifik. Sebagai presiden kedua kalinya, Trump sudah terapkan sanksi baru terhadap perusahaan tech China yang dukung militer PLA, plus tingkatkan penjualan senjata ke Taiwan. Pernyataannya di PBB September lalu—”China harus hentikan permainan kotornya, atau hadapi konsekuensi”—direspons Xi dengan peringatan “jangan campuri urusan internal”. Tapi Lai lihat Trump sebagai katalisator: meyakinkan Xi untuk buang opsi militer bisa cegah konflik yang ancam ekonomi global, termasuk chip semikonduktor dari TSMC Taiwan. Ini bukan mimpi kosong; Trump punya sejarah tekanan ekonomi yang bikin Beijing goyah, seperti fase satu kesepakatan dagang 2020. Di 2025, dengan inflasi AS yang terkendali berkat reshoring, Trump punya leverage lebih kuat untuk negosiasi.
Rekam Jejak Diplomatik Trump dan Klaim Nobel Sebelumnya: Trump Bisa Raih Nobel Perdamaian Jika Hentikan Agresi China
Trump tak asing dengan sorotan Nobel. Selama masa jabatan pertama, ia klaim seharusnya dapat lima Hadiah Nobel untuk Abraham Accords—normalisasi Israel-UEA, Bahrain, Sudan, Maroko—yang kurangi ketegangan Timur Tengah tanpa perang besar. Komite Nobel akui itu, tapi pilih yang lain. Kini, di 2025, Trump ulangi klaim itu di rally Pennsylvania: “Saya bawa perdamaian ke Korea Utara, Abraham Accords, dan sekarang Taiwan—lima Nobel lagi!” Gaya Trump—campur tweet kasar dan panggilan langsung ke pemimpin—buktikan efektif: pertemuan Trump-Kim Jong-un 2018 kurangi uji coba nuklir, meski sementara.
Soal China, Trump lihat Xi sebagai “teman” tapi saingan. Pada 2018-2020, ia tekan perdagangan hingga 360 miliar dolar barang kena tarif, paksa Beijing beli lebih banyak kedelai AS. Di era kedua, Trump dorong “decoupling” parsial: pindah pabrik ke Vietnam, India, dan Meksiko, plus aliansi Quad (AS-Jepang-Australia-India) yang kini punya latihan militer bersama. Lai puji ini sebagai “deterrence kredibel”, sebut Trump bisa jadi “pembawa perdamaian abad ini” jika capai kesepakatan non-agresi. Kritikus bilang pendekatan Trump berisiko picu perang dagang baru, tapi pendukungnya lihat sebagai realpolitik: hentikan agresi China berarti selamatkan jutaan nyawa dan triliunan ekonomi.
Implikasi Global Jika Trump Berhasil Hentikan Agresi
Bayangkan skenario sukses: Trump-Xi summit di Mar-a-Lago, Xi setuju moratorium militer 10 tahun terhadap Taiwan, tukar dengan keringanan tarif AS. Dampaknya masif. Pertama, kestabilan rantai pasok global pulih—Taiwan produksi 90% chip canggih dunia, ancaman invasi bisa hentikan ekonomi AS hingga 10 triliun dolar. Kedua, Asia-Pasifik lebih aman: Filipina, Vietnam, dan Jepang kurangi ketakutan di Laut China Selatan, dorong investasi hijau dan tech.
Nobel-nya? Komite Oslo sering pilih figur yang cegah konflik besar, seperti Obama 2009 untuk diplomasi. Trump, jika capai ini, bisa jadi penerima kontroversial tapi layak—mirip Anwar Sadat-Menachem Begin 1978 untuk Camp David. Di AS, ini boost popularitas Trump jelang midterm 2026, tunjukkan “America First” bawa perdamaian. Tapi tantangan ada: Beijing tolak campur tangan, dan hawk di Kongres AS desak lebih keras. Lai, dalam pertemuan dengan Senator AS, tekankan: “Dukung Taiwan berarti dukung perdamaian dunia.” Sukses Trump bisa jadi blueprint diplomasi era baru, di mana tekanan ekonomi kalahkan senjata.
Kesimpulan
Pernyataan Lai Ching-te soal Trump dan Nobel Perdamaian bukan sekadar pujian—ini panggilan mendesak untuk aksi di Selat Taiwan yang tegang. Dengan rekam jejak Trump yang penuh gebrakan diplomatik, potensi hentikan agresi China bisa lahirkan era damai Asia, selamatkan ekonomi global, dan tambah trofi Nobel ke raknya. Di 2025, saat AS-China di persimpangan, Trump punya kesempatan emas: pilih konfrontasi atau kolaborasi cerdas. Jika berhasil, bukan cuma Taiwan yang berterima kasih—dunia akan lihat AS sebagai penjaga perdamaian sejati. Saat summit potensial mendekat, satu hal pasti: taruhannya tinggi, tapi hadiahnya abadi.