Netanyahu Ingin Menghapuskan Kekuasaan Hamas Atas Gaza. Pada peringatan dua tahun serangan brutal Hamas tanggal 7 Oktober 2023, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali tegas menyatakan niatnya menghapuskan kekuasaan Hamas atas Gaza sepenuhnya. Di pidato emosional di Yerusalem, Netanyahu bilang Israel takkan berhenti hingga kelompok militan itu lenyap dari peta kekuasaan, sambil janji pulangkan semua sandera yang masih ditahan. Pernyataan ini datang di tengah negosiasi ceasefire yang panas di Kairo, didorong proposal 20 poin dari mantan Presiden AS Donald Trump yang kini berpengaruh besar. Gaza, yang sudah dua tahun dirundung perang, kini jadi panggung taruhan tinggi: damai atau kehancuran total. Dengan korban jiwa melebihi 40 ribu dan kehancuran infrastruktur mencapai 70%, rencana Netanyahu ini tak hanya soal militer, tapi juga visi jangka panjang untuk wilayah itu. Mari kita bedah langkah demi langkah apa yang sedang terjadi di balik layar konflik ini. BERITA BOLA
Visi Netanyahu: Dari Balas Dendam ke Dominasi Jangka Panjang: Netanyahu Ingin Menghapuskan Kekuasaan Hamas Atas Gaza
Netanyahu tak main-main dengan ambisinya. Di anniversary yang kelam itu, dia ulangi komitmen Israel untuk “menghancurkan Hamas secara total,” termasuk merebut kendali penuh atas Gaza sebagai buffer keamanan. Ini bukan ide baru—sejak awal perang, pemerintahnya tolak skenario di mana Hamas tetap pegang kekuasaan, bahkan dalam bentuk apa pun. Rencana konkretnya termasuk pendudukan permanen Gaza City dan pembangunan zona keamanan baru, yang disetujui kabinet dua bulan lalu meski kontroversial. Netanyahu lihat ini sebagai kemenangan strategis: tak ada lagi roket dari Gaza, dan Israel bisa atur perbatasan tanpa campur tangan kelompok radikal.
Latar belakangnya jelas: serangan 7 Oktober yang tewaskan 1.200 warga Israel dan culik 250 orang jadi trauma nasional. Netanyahu, yang sempat dikritik atas kegagalan intelijen, kini posisikan diri sebagai pemimpin tegas yang lindungi bangsa. Tapi, visi ini hadapi tantangan internal—koalisi far-right-nya desak pendudukan total, sementara militer Israel khawatir biaya operasionalnya melonjak. Di lapangan, pasukan IDF sudah kuasai 60% wilayah Gaza, tapi perlawanan sporadis Hamas buat kemajuan lambat. Intinya, Netanyahu ingin Gaza jadi “tanpa Hamas,” tapi realitas perang gerilya bikin janji itu terasa seperti mimpi panjang yang penuh darah.
Negosiasi Ceasefire: Proposal Trump yang Ubah Segalanya: Netanyahu Ingin Menghapuskan Kekuasaan Hamas Atas Gaza
Masuknya Donald Trump ke meja perundingan jadi plot twist besar di Oktober 2025. Proposal 20 poinnya, yang didukung mediator Mesir dan Qatar, tuntut Hamas serahkan kekuasaan penuh dan lepaskan semua sandera—hidup maupun mati—sebagai imbalan penghentian serangan Israel. Netanyahu, yang awalnya ragu, kini peluk rencana ini sebagai “kemenangan bersama” yang capai tujuan pemerintahannya: demiliterisasi Gaza dan jaminan keamanan. Hamas, di sisi lain, setuju kasih up kekuasaan sementara Israel tarik pasukan, meski detailnya masih kabur dan pending kondisi seperti bantuan kemanusiaan massal.
Pertemuan di Kairo kemarin libatkan delegasi tinggi, dengan Trump tekan Netanyahu lewat panggilan langsung untuk akhiri perang sebelum masuk tahun ketiga. Ini langkah berani, karena Trump warnai jika Hamas nggak patuh, Israel bakal lanjutkan ofensif total yang bisa “hapuskan mereka sepenuhnya.” Bagi Netanyahu, ini peluang emas: damai sementara bisa pulangkan 100 sandera tersisa, sambil pertahankan narasi kemenangan di mata pemilih. Tapi, negosiasi ini rapuh—Hamas tuntut jaminan permanen, sementara Israel khawatir kelompok itu bangkit lagi. Di tengah harapan damai, Gaza tetap kelaparan, dengan 90% penduduk bergantung bantuan PBB yang terhambat blokade.
Respons Global dan Internal: Backlash hingga Solidaritas
Rencana Netanyahu picu reaksi beragam, mulai dari kecaman hingga dukungan tegas. Di Israel, koalisi far-right-nya marah besar karena proposal Trump dianggap “lembek,” desak pendudukan tanpa kompromi dan aneksasi sebagian Gaza. Beberapa menteri ancam keluar kabinet jika Netanyahu terima kesepakatan yang biarkan elemen Hamas bertahan. Di sisi lain, oposisi Israel puji langkah ini sebagai jalan keluar dari perang melelahkan yang sudah tewaskan 700 tentara IDF.
Secara global, Uni Eropa dan PBB sambut baik negosiasi, dengan Sekjen Guterres bilang ini “kesempatan emas akhiri penderitaan Gaza.” Tapi, kritik tajam datang dari negara Arab: Mesir dan Yordania khawatir rencana pendudukan permanen Israel bakal picu instabilitas regional, sementara Iran dukung Hamas secara diam-diam lewat proxy. Di AS, Trump puji Netanyahu sebagai “teman setia,” tapi Biden admin yang masih berkuasa desak jaminan hak Palestina. Hamas sendiri, lewat juru bicara di Beirut, bilang siap serahkan kekuasaan tapi tolak “penjajahan baru.” Respons ini tunjukkan betapa rumitnya: Netanyahu hadapi tekanan domestik untuk keras, tapi dunia dorong damai untuk hindari eskalasi lebih luas.
Kesimpulan
Dua tahun pasca-7 Oktober, keinginan Netanyahu hapuskan kekuasaan Hamas atas Gaza jadi pusat badai politik yang campur aduk antara balas dendam, negosiasi cerdas, dan risiko tinggi. Dari visi dominasi militer hingga proposal Trump yang buka pintu damai, plus backlash yang bikin koalisi goyah, ini momen krusial yang bisa ubah nasib Gaza selamanya. Bagi Israel, sukses berarti keamanan abadi; bagi Palestina, bisa jadi awal rekonstruksi atau mimpi buruk pendudukan. Saat delegasi balik ke meja Kairo, harapan tipis tapi nyata: sandera pulang, senjata diam, dan Gaza bangkit dari puing. Netanyahu tahu taruhannya besar—kemenangan di lapangan takkan cukup tanpa damai yang berkelanjutan. Di akhir hari, perang ini ingatkan bahwa kekuasaan tak abadi, dan pilihan sekarang tentukan masa depan Timur Tengah.