Kondisi Pengungsi Afghanistan Memburuk Usai Konflik Taliban. Empat tahun setelah Taliban merebut kekuasaan di Kabul pada Agustus 2021, kondisi pengungsi Afghanistan justru semakin memprihatinkan. Di tengah gelombang pengembalian paksa dari negara tetangga seperti Iran dan Pakistan, jutaan orang terpaksa kembali ke tanah air yang kini dipenuhi ketidakpastian ekonomi dan pembatasan hak asasi. Pada November 2025 ini, laporan terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 1,5 juta pengungsi telah dipulangkan sejak awal tahun, membebani infrastruktur yang sudah rapuh di bawah pemerintahan Taliban. Bukan hanya soal makanan dan tempat tinggal, tapi juga ketakutan akan penindakan terhadap perempuan, minoritas, dan mantan pejabat pemerintah lama. Situasi ini bukan sekadar krisis kemanusiaan, melainkan cerminan bagaimana konflik berkepanjangan meninggalkan luka yang sulit sembuh, meninggalkan generasi muda tanpa harapan di ambang musim dingin yang keras. REVIEW KOMIK
Gelombang Pengembalian Paksa dari Iran dan Pakistan: Kondisi Pengungsi Afghanistan Memburuk Usai Konflik Taliban
Iran dan Pakistan, yang selama ini menampung jutaan pengungsi Afghanistan, kini menerapkan kebijakan deportasi ketat untuk mengatasi tekanan ekonomi domestik mereka sendiri. Sejak Januari 2025, hampir 250.000 orang dari Iran saja telah dipulangkan melalui perbatasan yang ramai, sering kali tanpa pemberitahuan atau bantuan transit. Di Pakistan, angka serupa mencapai ratusan ribu, dengan bus-bus penuh keluarga yang membawa barang seadanya melintasi sungai Kabul yang deras. Banyak di antaranya adalah pekerja migran yang kehilangan pekerjaan akibat resesi global, tapi juga termasuk aktivis dan jurnalis yang melarikan diri dari Taliban.
Kondisi di perbatasan sungguh menyedihkan. Pengungsi tiba dengan tangan hampa, menghadapi pemeriksaan ketat dari pasukan Taliban yang curiga terhadap siapa pun yang pernah tinggal di luar negeri. Beberapa melaporkan kehilangan dokumen selama perjalanan, membuat mereka rentan terhadap penahanan sewenang-wenang. Di kamp-kamp sementara dekat perbatasan, air bersih langka, dan penyakit seperti diare menyebar cepat di kalangan anak-anak yang kurang gizi. Taliban, meski berjanji memberikan sambutan hangat bagi “saudara yang kembali”, justru kesulitan mengelola influx ini karena anggaran terbatas dan sanksi internasional yang membatasi bantuan. Akibatnya, banyak pengungsi terlantar di pinggiran kota seperti Kandahar dan Herat, bergantung pada bantuan tetangga yang sendiri kesulitan.
Penderitaan Ekonomi dan Sosial di Tengah Pembatasan Taliban: Kondisi Pengungsi Afghanistan Memburuk Usai Konflik Taliban
Kembali ke Afghanistan tak berarti keselamatan. Ekonomi negara ini menyusut 20 persen sejak Taliban berkuasa, dengan pengangguran mencapai 40 persen di kalangan pemuda. Pengungsi yang pulang sering menemukan rumah mereka hancur atau diduduki orang lain, sementara lahan pertanian tandus akibat kekeringan berkepanjangan. Perempuan, yang membentuk separuh populasi pengungsi, menghadapi larangan ketat untuk bekerja atau bersekolah di atas usia 12 tahun, membuat keluarga bergantung pada pria yang jarang punya pekerjaan tetap. Di kamp-kamp internal seperti yang di Jalalabad, ribuan orang hidup dalam tenda bocor, di mana akses ke layanan kesehatan minim—hanya satu dokter untuk setiap 5.000 jiwa.
Lebih parah lagi, trauma psikologis menjadi epidemi diam-diam. Anak-anak yang tumbuh di pengasingan kini berjuang beradaptasi dengan aturan Taliban yang menekan kebebasan, seperti larangan musik atau olahraga bagi perempuan. Laporan menunjukkan peningkatan kasus depresi dan kecemasan di kalangan pengungsi, tapi fasilitas kesehatan mental hampir tidak ada. Minoritas seperti Hazara menghadapi ancaman tambahan dari diskriminasi etnis, dengan beberapa kamp menjadi target serangan sporadis dari kelompok ekstremis. Di musim dingin yang akan datang, badai salju bisa menewaskan ratusan jika bantuan tidak segera datang, mengingatkan pada krisis 2022 yang menewaskan ribuan.
Upaya Bantuan Internasional dan Tantangan Diplomatik
Komunitas internasional, meski kritis terhadap Taliban, tetap berupaya merespons krisis ini melalui saluran kemanusiaan. PBB dan organisasi non-pemerintah telah mendistribusikan bantuan senilai miliaran dolar sejak 2021, tapi pembatasan Taliban terhadap perempuan staf bantuan menghambat efektivitasnya—hanya 10 persen bantuan yang mencapai perempuan secara langsung. Pada Agustus 2025, pakar PBB menyatakan kengerian atas pengembalian paksa massal, menyerukan moratorium deportasi dari Eropa dan Asia. Beberapa negara seperti Jerman dan Kanada memperpanjang status pengungsi sementara, tapi tekanan dari pemerintahan baru di AS untuk mengakhiri perlindungan sementara membuat situasi lebih rumit.
Di sisi lain, Taliban menggunakan isu pengungsi untuk mencari pengakuan diplomatik, menawarkan kerja sama migrasi sebagai imbalan atas pencabutan sanksi. Namun, tanpa reformasi hak asasi, bantuan tetap terbatas. Organisasi seperti UNHCR mendorong program reintegrasi, seperti pelatihan vokasi untuk pengungsi kembali, tapi dana hanya mencapai separuh target 2025. Di Afghanistan, relawan lokal berjuang mengisi kekosongan, mendistribusikan makanan dari donasi swasta sambil menghindari pengawasan Taliban. Tantangan terbesar adalah koordinasi: negara tetangga menolak beban lebih lanjut, sementara donor global ragu karena ketakutan dana jatuh ke tangan rezim yang menindas.
Kesimpulan
Kondisi pengungsi Afghanistan yang memburuk usai konflik Taliban adalah pengingat getir bahwa perdamaian politik tak otomatis membawa kesejahteraan. Jutaan nyawa tergantung pada respons cepat yang menggabungkan bantuan darurat dengan tekanan diplomatik untuk reformasi. Taliban harus melonggarkan pembatasan agar bantuan mengalir bebas, sementara dunia tak boleh menutup mata pada pengembalian paksa yang memperburuk siklus penderitaan. Di balik angka-angka dingin, ada cerita keluarga yang bertahan demi hari esok yang lebih baik. Hanya dengan solidaritas global yang tegas, Afghanistan bisa bangkit dari reruntuhan—sebuah harapan yang kini terasa semakin jauh, tapi tak pernah pudar sepenuhnya.