
Kenapa di China Banyak Pengangguran Muda. China, dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, menghadapi tantangan serius berupa tingginya angka pengangguran di kalangan pemuda berusia 16-24 tahun. Data Biro Statistik Nasional China mencatat tingkat pengangguran pemuda mencapai 14,9% pada Mei 2025, meski turun dari puncak 18,8% pada Agustus 2024. Dengan 12,2 juta lulusan universitas memasuki pasar kerja pada 2025, persaingan semakin ketat di tengah perlambatan ekonomi. Fenomena seperti “anak penuh waktu” dan “merunduk” (tangping) mencerminkan kekecewaan generasi muda terhadap prospek karier. Artikel ini akan mengulas penyebab pengangguran muda, dampak sosialnya, upaya pemerintah, dan prospek ke depan. BERITA BOLA
Penyebab Pengangguran Muda
Pengangguran muda di China dipicu oleh kombinasi faktor struktural dan eksternal. Pertama, krisis properti yang berkepanjangan sejak 2021 telah menghancurkan sektor real estat, yang menyumbang 25% PDB China, menyebabkan hilangnya jutaan lapangan kerja di konstruksi dan industri terkait. Kedua, kebijakan regulasi ketat pemerintah terhadap sektor teknologi, pendidikan swasta, dan keuangan sejak 2020 telah memicu PHK massal, terutama di kalangan pekerja muda. Ketiga, kelebihan pasokan lulusan universitas—12,2 juta pada 2025—tidak seimbang dengan permintaan pasar kerja, terutama karena perusahaan enggan merekrut lulusan baru akibat biaya pemecatan yang tinggi. Selain itu, ketegangan perdagangan dengan Barat, termasuk tarif AS sebesar 34% pada April 2025, telah melemahkan sektor manufaktur dan ekspor, yang turun 7,5% pada Mei 2023. Pandemi Covid-19 juga meninggalkan dampak jangka panjang, dengan pemulihan ekonomi yang lambat dan konsumsi domestik yang lemah.
Dampak Sosial dan Fenomena Baru
Tingginya pengangguran muda telah memicu perubahan sikap dan fenomena sosial yang unik. Banyak pemuda memilih “merunduk” (tangping), menolak persaingan kerja yang hiperkompetitif dan memilih gaya hidup sederhana. Fenomena “anak penuh waktu” juga marak, di mana pemuda kembali ke rumah orang tua, melakukan tugas rumah tangga, atau merawat kakek-nenek dengan imbalan uang pensiun, seperti dilaporkan dengan bayaran hingga 15 juta rupiah per bulan. Istilah “rotten-tail kids” muncul untuk menggambarkan lulusan yang terpaksa bekerja di pekerjaan bergaji rendah atau bergantung pada orang tua, mirip dengan proyek properti mangkrak. Dampak psikologis juga signifikan, dengan lulusan seperti Lai Jiawen, yang memiliki gelar Master dari Universitas Peking, mengaku kehilangan tujuan hidup akibat tekanan kerja dan pengangguran berkepanjangan.
Upaya Pemerintah
Pemerintah China telah meluncurkan berbagai kebijakan untuk mengatasi krisis ini. Pada 2025, Laporan Kerja Pemerintah menargetkan penciptaan 12 juta pekerjaan baru di perkotaan, dengan langkah seperti pengembalian premi asuransi pengangguran hingga 90% untuk usaha kecil, pemotongan pajak, dan subsidi hingga 1.500 yuan per pekerja muda yang direkrut. Pemerintah juga mendorong kewirausahaan dan pelatihan vokasi, meski sistem “hukou” yang membatasi mobilitas tenaga kerja ke kota-kota besar tetap menjadi hambatan. Presiden Xi Jinping menegaskan pengangguran muda sebagai prioritas, namun imbauannya agar pemuda bekerja di pedesaan sering dianggap tidak realistis, memicu respons sinis. Analis seperti Dychtwald menilai kebijakan ini bersifat sementara, ibarat “kupon makanan,” dan tidak cukup mengatasi akar masalah seperti ketidaksesuaian keterampilan dan permintaan pasar.
Respons Publik dan Media: Kenapa di China Banyak Pengangguran Muda
Media seperti CNA dan Reuters melaporkan bahwa pengangguran muda telah menciptakan kesenjangan antara ekspektasi lulusan dan realitas pasar kerja, dengan banyak pemuda menolak pekerjaan kerah biru karena dianggap kurang prestisius. Di media sosial, pemuda menyuarakan frustrasi, dengan beberapa memilih menyewa “kantor pura-pura” seharga 68.000-113.000 rupiah per hari untuk menyembunyikan status pengangguran mereka. Media lokal seperti Caixin menyoroti bahwa lebih dari 50% perusahaan terbuka memotong karyawan pada 2024, mencerminkan pesimisme ekonomi. Namun, ada optimisme dari pejabat seperti Zhou Haibing, yang menyebutkan penciptaan 12 juta pekerjaan baru setiap tahun sejak 2021, meski data ini dipertanyakan.
Prospek ke Depan: Kenapa di China Banyak Pengangguran Muda
Tantangan pengangguran muda di China diperkirakan berlanjut hingga 2026, dengan risiko deflasi dan perlambatan ekonomi global yang memperburuk situasi. Kekurangan tenaga kerja terampil di sektor manufaktur, diproyeksikan mencapai 30 juta pada 2025, menunjukkan ketidaksesuaian keterampilan yang terus berlanjut. Reformasi seperti meningkatkan konsumsi domestik, yang hanya 38% dari PDB pada 2020, dan melonggarkan sistem hukou diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja baru. Tanpa langkah besar, pengangguran muda dapat memicu ketidakstabilan sosial, dengan laporan tentang serangan acak sebagai tanda frustrasi. Bagi pemuda, adaptasi melalui keterampilan baru atau kewirausahaan menjadi kunci untuk bertahan di pasar kerja yang sulit.
Kesimpulan: Kenapa di China Banyak Pengangguran Muda
Pengangguran muda di China, yang mencapai 14,9% pada Mei 2025, merupakan hasil dari krisis properti, regulasi ketat, kelebihan lulusan, dan ketegangan perdagangan. Fenomena seperti “anak penuh waktu” dan “merunduk” mencerminkan kekecewaan generasi muda, sementara kebijakan pemerintah masih dianggap kurang efektif. Dengan dampak sosial yang signifikan, termasuk penurunan konsumsi dan tekanan psikologis, China perlu reformasi jangka panjang untuk mengatasi krisis ini. Tanpa solusi komprehensif, pengangguran muda berisiko menjadi ancaman bagi stabilitas ekonomi dan sosial negara.