Australia Berani Mengecam Jet Tempur China. Australia mengambil langkah berani dengan secara terbuka mencela jet tempur China atas insiden berbahaya di Laut China Selatan pada 19 Oktober 2025. Sebuah pesawat patroli Australia diserang flare dari jet tempur People’s Liberation Army Air Force (PLA-AF), yang meledak sangat dekat hingga memaksa pilot Australia lakukan manuver darurat. Insiden ini, yang disebut Menteri Pertahanan Richard Marles sebagai “tidak aman dan tidak profesional”, langsung picu protes formal dari Canberra ke Beijing. Di tengah ketegangan regional yang memanas, langkah Australia ini jadi sinyal kuat: sekutu AS tak lagi diam saat kedaulatan udara dipertanyakan. Dengan Laut China Selatan yang kaya sumber daya dan jalur perdagangan senilai triliunan dolar, insiden ini ingatkan betapa rapuhnya stabilitas kawasan. Pemerintahan Anthony Albanese, yang baru saja perkuat aliansi AUKUS, tampak siap hadapi konsekuensi, meski risiko eskalasi selalu mengintai. REVIEW FILM
Insiden Berbahaya yang Picu Kemarahan Canberra: Australia Berani Mengecam Jet Tempur China
Insiden terjadi Minggu pagi waktu setempat, saat pesawat patroli Australia melakukan misi rutin pengawasan di wilayah internasional Laut China Selatan. Jet tempur China, jenis J-10C, tiba-tiba mendekat agresif dan lepaskan dua flare—sejenis peluru sinyal yang meledak—hanya 300 meter dari pesawat Australia. Pilot Australia, yang terbang di ketinggian 5.000 meter, harus evasi mendadak untuk hindari tabrakan potensial. Marles, dalam konferensi pers darurat Senin pagi, sebut manuver itu “sangat dekat dan berbahaya”, langgar aturan keselamatan internasional seperti Code of Unplanned Encounters at Sea. Ini bukan pertama kalinya; sejak 2021, Australia catat 200 insiden serupa dengan China, tapi kali ini flare jadi eskalasi baru—alat yang biasa dipakai peringatkan, tapi jarak dekatnya bikin ancaman nyata. Pendapat analis militer sebut ini tes respons Australia, terutama setelah Canberra beli kapal selam nuklir dari AUKUS. Insiden ini tak sebabkan korban jiwa, tapi tingkatkan kewaspadaan Angkatan Bersenjata Australia di kawasan.
Respons Diplomatik Australia yang Tegas: Australia Berani Mengecam Jet Tempur China
Pemerintah Australia gerak cepat: dalam hitungan jam, Menteri Luar Negeri Penny Wong hubungi rekan China untuk sampaikan protes formal, tuntut penjelasan dan jaminan tak terulang. Wong sebut insiden ini “ancaman langsung terhadap keselamatan personel kami”, dan Australia siap eskalasi ke forum internasional jika Beijing tak respons. Marles tambah, “Kami tak cari konfrontasi, tapi tak akan toleransi perilaku berbahaya.” Langkah ini selaras kebijakan luar negeri Albanese yang tegas tapi diplomatis, mirip respons atas insiden serupa dengan Rusia di 2023. Di dalam negeri, oposisi Liberal puji sikap Canberra, tapi tuntut tambah anggaran pertahanan 10 miliar dolar untuk patroli udara. China balas dengan pernyataan standar: “Australia provokasi di wilayah kita,” klaim Laut China Selatan sebagai “perairan historis” mereka, meski klaim itu ditolak pengadilan internasional 2016. Respons Australia ini berani karena risikonya: perdagangan dua arah capai 200 miliar dolar tahun lalu, tapi Canberra prioritaskan keamanan regional.
Konteks Ketegangan yang Makin Memanas di Indo-Pasifik
Insiden ini tak berdiri sendiri; ia bagian mozaik ketegangan Indo-Pasifik yang memuncak sejak 2020. China tingkatkan patroli udara di Laut China Selatan, klaim 90 persen wilayah itu, langgar hak navigasi negara lain. Australia, sebagai anggota Quad (dengan AS, Jepang, India), sering lakukan freedom of navigation ops, picu respons Beijing. Sejak AUKUS 2021, insiden dengan Australia naik 50 persen, termasuk laser buta pilot 2022. Di kawasan, Filipina dan Vietnam juga laporkan serangan serupa, bikin aliansi AS-Australia makin erat—Albanese baru saja jumpa Biden di New York untuk bahas strategi bersama. Analis sebut ini “permainan kekuatan” China untuk tes resolusi Barat, terutama jelang pemilu AS 2026. Bagi Australia, berani mencela China artinya komitmen lindungi rute perdagangan yang lewat Selat Malaka, senilai 5 triliun dolar global. Namun, risiko balasan ekonomi seperti tarif impor batu bara Australia—yang China kurangi 20 persen tahun lalu—selalu ada. Konteks ini buat langkah Canberra terasa strategis, bukan impulsif.
Kesimpulan
Australia berani mencela jet tempur China atas insiden flare di Laut China Selatan pada 19 Oktober 2025, tunjukkan tekad lindungi kepentingan nasional di kawasan tegang. Dari respons diplomatik cepat hingga konteks Indo-Pasifik yang memanas, langkah ini jadi pernyataan kuat bahwa Canberra tak gentar hadapi Beijing. Meski risiko eskalasi ada, protes ini perkuat aliansi AUKUS dan Quad, ingatkan dunia bahwa kebebasan navigasi tak bisa ditawar. Ke depan, insiden seperti ini bisa jadi katalisator dialog atau konfrontasi—tapi satu hal pasti: Australia pilih berdiri tegar. Di era geopolitik rumit, keberanian seperti ini yang jaga keseimbangan kawasan.