
Global Flotilla Nuduh Israel Terus Melakukan Penyerangan. Pada awal Oktober 2025, Laut Mediterania kembali jadi panggung ketegangan geopolitik ketika Global Sumud Flotilla, armada bantuan kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah, menuduh Israel melakukan serangan berkelanjutan terhadap kapal-kapal sipilnya. Armada yang terdiri dari lebih dari 50 kapal dari 44 negara, membawa 500 aktivis termasuk Greta Thunberg dan anggota parlemen Eropa, berlayar sejak akhir Agustus untuk memecah blokade Gaza yang telah berlangsung hampir dua dekade. Namun, dalam perairan internasional, kapal-kapal ini sudah tiga kali diserang drone tak dikenal yang melempar granat kejut dan zat iritan, merusak peralatan dan mengganggu komunikasi. Tuduhan ini bukan yang pertama; sejak 2010, misi serupa selalu dihadang Israel, tapi skala kali ini menarik perhatian dunia. Di tengah krisis kemanusiaan Gaza yang memasuki tahun kedua, dengan ribuan korban dan kelaparan massal, pertanyaan muncul: apakah serangan ini melanggar hukum internasional, dan bagaimana dunia merespons? BERITA BASKET
Latar Belakang Global Sumud Flotilla: Global Flotilla Nuduh Israel Terus Melakukan Penyerangan
Global Sumud Flotilla lahir dari koalisi aktivis global yang frustrasi dengan blokade Gaza, yang dimulai Israel pada 2007 sebagai respons terhadap konflik dengan Hamas. Armada ini, yang berarti “ketabahan” dalam bahasa Arab, berangkat dari Spanyol pada 31 Agustus 2025, membawa bantuan seperti formula bayi, tepung, beras, popok, kit medis, dan alat bantu jalan. Lebih dari sekadar pengiriman, misi ini simbolis: menantang blokade yang dianggap ilegal oleh PBB karena menghalangi akses bantuan kemanusiaan ke 2,3 juta penduduk Gaza. Sebelumnya, Freedom Flotilla Coalition (FFC) telah mengirim kapal seperti Madleen pada Juni 2025 dan Handala pada Juli, tapi keduanya dicegat di perairan internasional, dengan aktivis ditahan dan dideportasi.
Kali ini, skala lebih besar: 50 kapal sipil, termasuk yang bergabung dari Thousand Madleens to Gaza, membawa jurnalis, dokter, dan politisi dari Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Greta Thunberg, aktivis iklim Swedia, bergabung untuk soroti dampak perubahan iklim pada Gaza yang rusak perang. Armada ini juga didukung delegasi dari 44 negara, termasuk anggota parlemen Prancis Rima Hassan dan mantan menteri Belgia Pierre-Yves Dermagne. Tujuannya jelas: tiba di pantai Gaza pada 2 Oktober untuk serahkan bantuan langsung, sambil tuntut akhir blokade. Namun, sejak meninggalkan Tunisia, kapal-kapal ini sudah hadapi gangguan: drone serang dua kali di Tunisia pada 8-9 September, lalu di perairan Yunani pada 25 September, dengan 13 ledakan yang rusak kapal dan ganggu radio.
Tuduhan Serangan Israel dan Responsnya
Global Sumud Flotilla secara tegas nuduh Israel di balik serangan drone itu, yang terjadi di perairan internasional—area di mana Israel tak punya yurisdiksi. Pada 25 September, drone tak dikenal lempar granat kejut dan bubuk gatal ke 10 kapal, termasuk kapal utama Alma, menyebabkan kerusakan tapi tak ada korban jiwa. Aktivis seperti Yasemin Acar, anggota komite kemudi, sebut ini “kejahatan perang” terhadap misi sipil non-kekerasan. Maria Elena Delia, juru bicara Italia, prediksi serangan lanjutan pada malam 30 September, saat armada masuk “zona bahaya” 170 mil laut dari Gaza. Kapal perang Israel dilaporkan mengelilingi armada dengan lampu mati, dan komunikasi terganggu.
Israel belum konfirmasi keterlibatannya, tapi militer negara itu janji gunakan “segala cara” untuk cegah armada tiba di Gaza. Menurut broadcaster Kan, komando angkatan laut Israel siap ambil alih kapal dengan pasukan khusus, tahan ratusan aktivis, dan deportasi via pelabuhan Ashdod. Beberapa kapal mungkin ditenggelamkan di laut, meski ini bakal picu kontroversi. Israel anggap blokade legal sebagai bagian dari perang melawan Hamas pasca-serangan 7 Oktober 2023 yang tewaskan 1.200 warga Israel dan culik 251 sandera. Tuduhan aktivis: serangan ini langgar Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) dan Manual San Remo, yang larang intervensi terhadap kapal kemanusiaan netral. Stephen Cotton dari International Transport Workers’ Federation sebut ini “ilegal dan tak dapat diterima”.
Respons Internasional dan Dampak Kemanusiaan
Dunia bereaksi campur aduk. Italia dan Spanyol awalnya kirim kapal perang untuk eskors armada pasca-serangan Yunani, tapi Italia mundur pada 30 September, minta flotilla hentikan misi demi hindari kekerasan. Paus Leo XIII ungkapkan kekhawatiran atas keselamatan aktivis, serukan hormati hak asasi. PBB dan pakar hukum seperti yang dari OHCHR tuntut jaminan selamat lewat untuk misi kemanusiaan, ingatkan blokade sebabkan kelaparan di Gaza—hampir 66.000 tewas sejak 2023, termasuk ratusan anak kelaparan. Media Barat seperti BBC dan AP liput, tapi kritik bilang kurang soroti pelanggaran Israel.
Di Gaza, blokade perburuk krisis: sejak Maret 2025, bantuan hampir nol, picu kelaparan massal. Armada ini tak hanya bawa bantuan, tapi juga jurnalis untuk dokumentasikan kondisi, dan dokter untuk bantu tenaga medis lokal yang kewalahan. Jika serangan lanjut, bisa picu eskalasi diplomatik—Turki ancam respons jika kapal Turki diserang, mengingat insiden Mavi Marmara 2010 yang tewaskan 10 aktivis Turki. Aktivis di kapal seperti Naoise Dolan tulis dari Sirius: “Kami tak mungkin tiba, tapi solidaritas ini tunjukkan blokade tak bisa abadi.”
Kesimpulan: Global Flotilla Nuduh Israel Terus Melakukan Penyerangan
Tuduhan Global Sumud Flotilla bahwa Israel terus serang kapal sipilnya soroti luka terbuka konflik Gaza, di mana blokade jadi senjata perang yang picu penderitaan massal. Di 1 Oktober 2025, armada ini dekati pantai Gaza, tapi ancaman intersepsi makin nyata, dengan kapal perang Israel mengintai. Meski misi ini mungkin gagal tiba, ia bangkitkan solidaritas global, tuntut akhir blokade ilegal dan genosida. Bagi aktivis di atas kapal, risiko nyawa sepadan demi suara Gaza yang terbungkam. Dunia harus tegas: hukum internasional tak boleh diabaikan demi kekerasan. Hingga Palestina bebas, armada seperti Sumud akan terus berlayar—bukan untuk perang, tapi perdamaian.