Harga Semua Daging di Seluruh Dunia Sedang Naik, Mengapa? Pagi ini, 22 Oktober 2025, harga daging sapi di pasar global capai rekor baru: naik 11,6 persen dari tahun lalu, menurut laporan bulanan FAO. Di AS, harga ground beef melonjak 51 persen sejak 2020, sementara di Eropa, daging domba naik 8 persen dalam sepekan terakhir. Ini bukan tren lokal; hampir semua jenis daging—sapi, babi, ayam, domba—naik di seluruh dunia, picu inflasi makanan yang capai 5 persen rata-rata. Konsumen di India kesulitan beli ayam murah, peternak Brasil hadapi biaya pakan melonjak, dan restoran Eropa potong porsi menu daging. Mengapa ini terjadi? Kombinasi kekurangan pasokan, bencana iklim, dan tekanan ekonomi global bikin harga melambung. Di tengah pemulihan pasca-pandemi dan konflik geopolitik, kenaikan ini bukan kebetulan—ia cerminan sistem pangan rapuh yang butuh perhatian segera. Bagi keluarga biasa, ini berarti dompet lebih tipis; bagi petani, peluang untung tapi juga risiko bangkrut. REVIEW FILM
Kekurangan Pasokan: Herd Kecil dan Ekspor Terhambat: Harga Semua Daging di Seluruh Dunia Sedang Naik, Mengapa?
Pasokan daging menyusut jadi biang kerok utama, terutama untuk sapi. Di AS, populasi sapi potong terkecil sejak 1951—hanya 86 juta ekor—karena peternak tunda breeding akibat biaya tinggi. Ini lanjutan efek kekeringan 2022-2023 yang paksa jual ternak dini, kurangi stok 10 persen. Hasilnya? Harga sapi hidup naik 20 persen di lelang Chicago minggu ini. Di Brasil, eksportir terbesar dunia, ekspor turun 15 persen sejak Juli karena larangan impor sementara dari China akibat wabah foot-and-mouth disease—penyakit yang infeksi 50 ribu sapi di Mato Grosso. China, pembeli 40 persen daging Brasil, kini cari alternatif dari Australia, naikkan harga global 7 persen. Untuk daging babi, China sendiri hadapi African Swine Fever residu, kurangi produksi 5 persen, tekan pasokan Asia. Ayam, meski lebih stabil, naik 6 persen karena impor kedelai pakan dari Ukraina terganggu perang—kedelai naik 12 persen sejak Maret. Kekurangan ini ciptakan efek domino: pabrik pengolahan tutup sementara di AS karena stok rendah, tambah biaya logistik 8 persen.
Dampak Iklim dan Biaya Produksi: Bencana yang Tak Terduga: Harga Semua Daging di Seluruh Dunia Sedang Naik, Mengapa?
Perubahan iklim perburuk semuanya, dengan kekeringan dan banjir hantam peternakan global. Di Australia, La Niña 2024 bikin banjir Queensland, rusak 20 persen padang rumput domba—ekspor turun 10 persen, naikkan harga wol dan daging 9 persen. Di India, gelombang panas musim panas bunuh 100 ribu ternak sapi, tekan produksi lokal 7 persen dan impor naik 15 persen. Biaya produksi ikut melambung: pakan ternak, 60 persen biaya peternak, naik 18 persen karena jagung dan kedelai mahal—jagung AS capai 7 dollar per bushel, tertinggi dua tahun, akibat banjir Midwest. Energi juga faktor: diesel untuk truk pengangkut naik 12 persen di Eropa karena ketegangan Timur Tengah, tambah biaya rantai dingin 5 persen. Tenaga kerja langka pasca-pandemi bikin upah peternak naik 10 persen di Brasil, sementara regulasi karbon UE paksa pabrik kurangi emisi, naikkan biaya operasi 6 persen. Di Afrika, kekeringan Sahel bunuh 2 juta ternak domba, tekan pasokan halal ke Timur Tengah. Iklim dan biaya ini bikin peternak global potong produksi 8 persen rata-rata, langsung dorong harga ke atas.
Permintaan Naik dan Faktor Ekonomi: Tekanan dari Segala Arah
Permintaan daging tak turun meski harga naik, malah dorong inflasi lebih dalam. Di negara berkembang seperti India dan Indonesia, urbanisasi bikin konsumsi daging naik 12 persen per kapita sejak 2020—kelas menengah pilih protein hewani untuk diet sehat. China, dengan 1,4 miliar penduduk, impor daging sapi naik 20 persen untuk penuhi permintaan pesta musim gugur. Di AS, permintaan steak tetap kuat meski resesi ringan, naikkan harga premium cut 15 persen. Faktor ekonomi global tambah beban: inflasi makanan 4,5 persen di Eropa akibat perang Ukraina ganggu gandum pakan, sementara tarif impor AS di bawah Trump 2.0 naikkan biaya daging impor 10 persen dari Meksiko. Pandemi residu bikin rantai pasok rapuh: pabrik pengolahan tutup karena kekurangan pekerja, kurangi output 5 persen di UE. Di Timur Tengah, konflik Gaza tekan ekspor Israel ke Eropa, naikkan harga ayam 8 persen. Permintaan ini ciptakan ketidakseimbangan: pasokan turun 7 persen global, permintaan naik 5 persen, hasilnya harga lonjak 10-15 persen rata-rata. Konsumen adaptasi dengan pilih daging murah seperti ayam, tapi itu pun naik 6 persen.
Kesimpulan
Kenaikan harga daging global di 2025 adalah badai sempurna dari kekurangan pasokan, bencana iklim, biaya produksi melonjak, dan permintaan tak kenal lelah—efek domino yang tekan dompet konsumen di mana-mana. Dari herd sapi AS yang menyusut hingga banjir Australia yang rusak rumput, faktor ini saling terkait, ciptakan inflasi makanan yang sulit ditekan. Pemerintah seperti UE dorong subsidi pakan, tapi butuh solusi jangka panjang seperti peternakan berkelanjutan. Bagi petani, ini peluang untung; bagi konsumen, saatnya bijak pilih protein nabati. Dunia pangan butuh keseimbangan—jika tak, harga bisa naik lagi 10 persen 2026. Saat makan malam malam ini, ingat: setiap gigitan daging punya cerita global di baliknya.