
India Melirik Kedekatan Trump Dengan Negara Pakistan. Di tengah dinamika geopolitik yang semakin rumit, India kini memandang curiga kedekatan Presiden AS Donald Trump dengan Pakistan, yang terlihat jelas dari pertemuan hangat di Gedung Putih pada 25 September 2025. Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif dan Kepala Angkatan Bersenjata Asim Munir bertemu Trump untuk membahas kerjasama keamanan, investasi energi, dan mineral kritis—sebuah langkah yang Trump sebut sebagai “kemitraan besar” dengan “pemimpin hebat”. Ini terjadi hanya sebulan setelah eskalasi militer India-Pakistan di Kashmir pada Mei, di mana India menyalahkan Pakistan atas serangan teroris yang memicu Operasi Sindoor. Bagi New Delhi, sinyal ini bukan sekadar diplomasi biasa, melainkan potensi pengkhianatan terhadap kemitraan strategis AS-India yang dibangun bertahun-tahun untuk menangkal China. Dengan tarif 50% AS atas impor minyak Rusia India masih menggantung, dan Trump terus klaim mediasi gencatan senjata India-Pakistan, kekhawatiran India tumbuh: apakah Washington mulai memihak Islamabad demi kepentingan transaksional? Saat Trump dorong investasi AS di Pakistan, India harus pertimbangkan ulang posisinya di panggung global. BERITA VOLI
Kedekatan Trump-Pakistan: Dari Kritik ke Pelukan Strategis: India Melirik Kedekatan Trump Dengan Negara Pakistan
Hubungan Trump dengan Pakistan berubah drastis sejak ia kembali ke Gedung Putih. Dulu, pada masa jabatan pertama, Trump panggil Pakistan “penipu” dan potong bantuan militer karena dugaan dukung Taliban. Kini, semuanya terbalik. Pertemuan 25 September itu bagian dari rangkaian: Juni lalu, Trump jamu Munir untuk makan siang pribadi di White House, sebut ia layak nominasi Nobel atas “ceasefire” India-Pakistan—klaim yang India tolak mentah-mentah. Sharif, dalam pidato UNGA, ulangi pujian itu, dorong Trump dapat Nobel atas “mediasi” yang katanya cegah perang nuklir.
Apa yang dorong perubahan? Pragmatisme Trump. Pakistan tawarkan paket transaksional: akses cadangan minyak “masif” (meski survei USGS ragukan potensinya), mineral langka untuk baterai EV AS, dan kerjasama kripto serta anti-teror. Juli 2025, kesepakatan dagang beri Pakistan tarif rendah 19%—jauh lebih baik dari India—sementara AS janji bantu eksplorasi minyak dan bangun kilang. September 8, MoU dengan perusahaan AS USSM investasikan US$500 juta di mineral Pakistan, hadir Sharif dan Munir. Trump bilang, “Pakistan punya pemimpin luar biasa; kita akan gali minyak mereka dan kuatkan keamanan regional.” Ini selaras dengan prioritas Trump: kurangi ketergantungan China pada mineral, stabilkan Timur Tengah via Gaza plan (di mana Pakistan ikut dukung), dan tekan India atas impor minyak Rusia. Bagi Pakistan, ini angin segar di tengah krisis ekonomi—dengan IMF bailout dan utang China—untuk monetisasi lokasi strategisnya. Tapi, para analis bilang, ini “pelukan sementara”: Pakistan tetap sekutu utama Beijing, dan Trump bisa kecewa lagi seperti presiden sebelumnya.
Kekhawatiran India: Ancaman bagi Kemitraan Strategis AS-India: India Melirik Kedekatan Trump Dengan Negara Pakistan
India tak bisa abaikan sinyal ini. Pertemuan Trump-Sharif-Munir datang pasca eskalasi Kashmir, di mana serangan teroris Pahalgam bunuh 26 warga India, picu serangan balasan yang hancurkan basis udara Pakistan. India klaim gencatan senjata hasil bilateral, bukan mediasi AS—seperti ditegaskan PM Narendra Modi dalam panggilan dengan Trump Juni lalu: “Tidak ada ruang pihak ketiga di Kashmir.” Tapi Trump terus bohongi narasi itu, bahkan sebut tawarkan perdagangan sebagai imbalan de-eskalasi, yang India tolak sebagai “campur tangan”. Di PBB 27 September, duta besar India Anuradha Prasad tegur Pakistan atas “teatrik absurd” dan glorifikasi teror, sambil tolak klaim Trump.
Kekhawatiran utama: erosi Quad dan Indo-Pacific strategy. AS butuh India lawan China, tapi tarif 50% atas minyak Rusia (karena sanksi Ukraina) buat New Delhi frustrasi—ekspor India ke AS turun 15% tahun ini. Mantan duta besar Ajay Bisaria, di India Today Conclave 26 September, bilang: “Pakistan dekati AS di bawah bayang China; Trump akan kecewa dan marah di media sosial.” Harsh Pant dari ORF tambah, “Jika Pakistan jadi pusat strategi AS, perhitungan kebijakan luar negeri India berubah.” India khawatir AS restart suplai senjata ke Pakistan, lemahkan keseimbangan regional. Respons awal: protes diplomatik privat ke Washington, tolak mediasi Kashmir, dan dorong kerjasama bilateral. Tapi, secara domestik, ini picu kritik oposisi seperti Congress, yang tanya: “Apakah kita buka pintu mediasi ketiga?” Modi tetap tenang, tapi tekanan naik jelang Quad Summit 2025 di India.
Implikasi Lebih Luas: India Cari Keseimbangan Baru
Kedekatan Trump-Pakistan tak cuma rusak AS-India, tapi ubah dinamika Asia Selatan. India mulai kalibrasi ulang hubungan dengan China—Modi rencana hadiri SCO summit, tingkatkan dialog ekonomi meski batas LAC tegang. Ini “hedge” strategis, kata Pant, karena Trump “tidak reliabel”. Bagi Pakistan, manfaat jangka pendek: investasi AS bantu diversifikasi dari China, tapi risiko: tekanan anti-teror bisa bentur kepentingan internal, dan Trump bisa balik kritik jika Taliban naik lagi. Secara regional, ini kurangi peran AS sebagai penengah netral di Kashmir—India tolak keras, tapi eskalasi masa depan bisa lebih sulit dikendalikan tanpa rem Washington. Global, ini contoh “America First” Trump: transaksional, abaikan sekutu lama demi deal cepat. India, yang dukung Gaza plan Trump (seperti 142 negara lain), tunjukkan diplomasi fleksibel—tapi di Pakistan, batasnya jelas. Akhirnya, ini uji Modi: pertahankan kemitraan AS sambil lindungi kepentingan nasional, mungkin via dialog langsung dengan Trump.
Kesimpulan
Kedekatan Trump dengan Pakistan, via pertemuan September dan kesepakatan mineral, buat India waspada atas masa depan kemitraan strategisnya dengan AS. Dari klaim mediasi palsu hingga tarif tak adil, New Delhi lihat ini sebagai sinyal Washington prioritaskan deal cepat ketimbang komitmen jangka panjang. Tapi India tak pasif: tolak campur tangan, kalibrasi ulang dengan China, dan tekankan nilai strategisnya lawan Beijing. Bagi Trump, ini bisa beri akses sumber daya Pakistan—tapi sejarah tunjukkan kemitraan AS-Pakistan sering berakhir kecewa. Di Asia Selatan yang rapuh, langkah ini bisa stabilkan ekonomi Pakistan sementara, tapi tingkatkan risiko eskalasi India-Pakistan tanpa penengah tepercaya. Saat dunia hadapi ketidakpastian, India punya peluang: perkuat posisi sebagai kekuatan independen, dorong dialog bilateral, dan ingatkan AS bahwa sekutu sejati tak diganti deal murah. Momentum ini krusial—New Delhi harus manfaatkan untuk bentuk ulang aliansi, pastikan suaranya didengar di panggung global.