Pembantaian Massal Terjadi di Sudan, Genosidakah? Pembantaian massal di El Fasher, ibu kota Darfur Utara, Sudan, menjadi sorotan dunia sejak akhir pekan lalu. Dimulai pada 26 Oktober 2025, pasukan Rapid Support Forces (RSF) merebut kota itu dari kendali militer Sudan, disertai laporan eksekusi brutal terhadap ribuan warga sipil. Korban jiwa diperkirakan mencapai 2.500 orang atau lebih, mayoritas dari etnis Massalit, dengan metode pembunuhan yang mengingatkan pada kekerasan Darfur dua dekade silam. Di tengah konflik sipil yang sudah merenggut nyawa lebih dari 20.000 orang sejak April 2023, pertanyaan besar menggantung: apakah ini genosida baru? PBB dan kelompok hak asasi manusia sudah angkat suara, sementara warga sipil terjebak di antara tembakan dan kelaparan. Kisah ini bukan sekadar berita darurat; ini pengingat betapa rapuhnya perdamaian di negeri yang kaya sumber daya tapi miskin keadilan. INFO CASINO
Latar Belakang Konflik yang Membara: Pembantaian Massal Terjadi di Sudan, Genosidakah?
Konflik Sudan meledak sejak April 2023, saat RSF—milis semi-resmi yang lahir dari Janjaweed era Darfur—bentrok dengan Tentara Nasional Sudan (SAF) atas perebutan kekuasaan. RSF, dipimpin Hemedti, diduga didukung Uni Emirat Arab, sementara SAF di bawah Abdel Fattah al-Burhan dapat bantuan Mesir dan Rusia. Pertarungan ini sudah ubah Khartoum jadi medan perang, tapi Darfur jadi neraka terburuk. El Fasher, kota terakhir benteng SAF di wilayah itu, jadi target strategis karena dekat perbatasan Chad dan kaya emas.
Sebelum jatuh, El Fasher jadi tempat aman bagi 800.000 pengungsi dari pembantaian sebelumnya. RSF sudah tuduh lakukan etnis cleansing di kawasan itu, bunuh ribuan Massalit—etnis non-Arab yang jadi sasaran sejak 2003. Laporan Amnesty International catat RSF gunakan taktik serupa: serang desa, bakar rumah, dan eksekusi massal. Jatuhnya El Fasher pada 26 Oktober tak terhindarkan setelah blokade enam bulan yang bikin warga kelaparan. RSF klaim “pembebasan kota dari teroris”, tapi saksi mata bilang itu pembantaian terencana. Konflik ini bukan cuma perang sipil; ini perjuangan identitas, di mana etnis Arab RSF lawan non-Arab seperti Massalit, Fur, dan Zaghawa.
Detail Pembantaian di El Fasher: Pembantaian Massal Terjadi di Sudan, Genosidakah?
Pada 26 Oktober, RSF luncurkan serangan kilat dengan drone dan artileri, rebut bandara dan pasar utama dalam hitungan jam. Tapi kemenangan militer berubah jadi mimpi buruk bagi warga. Laporan dari saksi yang lolos ke Chad cerita eksekusi di jalan: pria, wanita, anak-anak ditembak di tempat usai cek identitas etnis. Satu keluarga Massalit bilang RSF kumpulkan 200 orang di masjid, lalu bakar hidup-hidup. Korban jiwa resmi belum ada, tapi Yale Humanitarian Research Lab estimasi 2.500 eksekusi dalam tiga hari pertama, plus ribuan luka-luka.
RSF tak berhenti di situ: mereka rampas bantuan PBB, hancurkan rumah sakit, dan paksa pengungsi keluar kota. Foto satelit tunjukkan asap dari pembakaran massal, sementara video amatir—meski jarang—tunjukkan mayat bergelimpangan di pasar. Warga sipil, yang sudah menderita blokade, kini hadapi kelaparan total; stok makanan habis, dan akses air terkontaminasi. Ini mirip pembantaian El Geneina 2023, di mana RSF bunuh 1.000 Massalit dalam dua hari. Bedanya, El Fasher lebih besar—kota dengan 1 juta jiwa—jadi skala kematiannya potensial lebih dahsyat. RSF bilang ini “pembersihan teroris”, tapi bukti forensik tunjukkan target sipil tak bersenjata.
Tuduhan Genosida dan Respons Internasional
Pertanyaan genosida muncul cepat. Definisi PBB: tindakan niat hancurkan kelompok etnis secara keseluruhan. RSF sudah tuduh lakukan itu di Darfur sejak 2023—bunuh Massalit, perkosa wanita, dan paksa migrasi. El Fasher jadi bukti terbaru: laporan Human Rights Watch catat RSF pilih korban berdasarkan etnis, serang masjid dan kamp pengungsi. Aktivis Darfur bilang ini “genosida kedua”, mirip 2003 yang bunuh 300.000 orang dan buat 2 juta pengungsi.
Respons dunia lambat tapi mulai bergaung. PBB gelar sidang darurat Dewan Keamanan 29 Oktober, di mana Sekjen Antonio Guterres kutuk “pembantaian mengerikan” dan minta embargo senjata ke RSF. AS dan Inggris dukung, tapi China dan Rusia veto resolusi. Uni Afrika kirim tim investigasi, sementara Chad terima 10.000 pengungsi baru. Hemedti, pemimpin RSF, undang dialog di Jeddah, tapi SAF tolak. Aktivis seperti Darfur Women Action bilang dunia abaikan lagi, ingat Rwanda 1994. Tanpa intervensi cepat, Darfur bisa jadi kuburan massal baru—dengan jutaan jiwa terancam.
Kesimpulan
Pembantaian di El Fasher bukan kejadian terisolasi; ini puncak konflik Sudan yang sudah merenggut ribuan nyawa dan ancam genosida etnis Massalit. Dari latar perang sipil yang membara hingga detail kekejaman RSF, kasus ini soroti kegagalan dunia lindungi sipil. Tuduhan genosida kuat, tapi respons internasional masih setengah hati—embargo senjata dan bantuan kemanusiaan jadi kunci. Bagi warga Sudan, ini bukan angka; ini keluarga hancur dan mimpi pudar. Di akhir 2025, El Fasher jadi simbol kegagalan perdamaian—tapi juga panggilan darurat untuk aksi global. Sudan butuh lebih dari kata-kata; butuh keadilan sebelum terlambat.