Trump Anggap Ulah Israel Saat Gencatan Gaza Bukan Masalah. Pada 29 Oktober 2025, dunia internasional kembali bergolak saat Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa serangan Israel di Gaza selama periode gencatan senjata bukanlah masalah besar yang mengancam kesepakatan damai. Pernyataan itu muncul sehari setelah serangan udara Israel menewaskan 104 warga Palestina, termasuk 40 anak-anak, di kawasan Gaza Utara—pelanggaran yang dikecam keras oleh PBB dan Uni Eropa. Trump, yang memainkan peran sentral dalam negosiasi gencatan senjata 20 poin pada September lalu, bilang di konferensi pers Gedung Putih: “Tidak ada yang akan merusak gencatan senjata ini. Israel punya hak membela diri jika diserang, dan Hamas hanyalah bagian kecil dari perdamaian Timur Tengah.” Di tengah ketegangan yang memuncak jelang Konferensi Iklim COP30 di Brasil, sikap Trump ini memicu perdebatan sengit: apakah ia dukung kebijakan Israel secara buta, atau strategi untuk stabilkan kawasan? Konflik Gaza, yang sudah klaim lebih dari 40 ribu nyawa sejak Oktober 2023, kini hadapi ujian baru—di mana gencatan senjata rapuh jadi taruhan geopolitik global. INFO CASINO
Dampak Politik: Dukungan Trump Perkuat Posisi Netanyahu: Trump Anggap Ulah Israel Saat Gencatan Gaza Bukan Masalah
Pernyataan Trump langsung perkuat posisi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang hadapi tekanan domestik dari koalisi sayap kanan. Serangan 28 Oktober—yang Israel klaim target posisi Hamas—sebenarnya langgar fase pertama gencatan senjata, di mana Israel janji hentikan operasi ofensif. Tapi Trump segera bela: “Hamas yang memprovokasi, dan Israel berhak balas. Ini bukan pelanggaran; ini penjagaan perdamaian.” Pernyataan itu datang saat Netanyahu hadapi demonstrasi di Tel Aviv menuntut pemilu baru, dan dukungan AS jadi penyelamat politiknya.
Di AS, Trump manfaatkan isu ini untuk kampanye 2026: polling Gallup tunjukkan 55 persen pemilih Republik dukung Israel tanpa syarat, naik 10 persen sejak gencatan senjata. Kritik dari Demokrat seperti Senator Elizabeth Warren bilang Trump “abaikan hak asasi Palestina”, tapi Trump balas: “Saya yang bawa damai, bukan yang rusak.” Dampaknya luas: bantuan militer AS ke Israel naik US$ 3 miliar tahun ini, dan serangan baru picu protes di Washington dengan 5 ribu orang. Relatif dengan perang Ukraina, sikap Trump ini konsisten: prioritas sekutu strategis, meski langgar norma internasional—seperti resolusi PBB 2334 soal pemukiman Gaza.
Respons Internasional: Kecaman PBB dan Tekanan Eropa: Trump Anggap Ulah Israel Saat Gencatan Gaza Bukan Masalah
Reaksi global langsung meledak. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sebut serangan Israel “pelanggaran gencatan senjata yang tak bisa diterima”, tuntut investigasi independen dan sanksi sementara. Resolusi Dewan Keamanan PBB, yang didukung 12 dari 15 anggota, minta Trump tekan Netanyahu hentikan serangan—tapi AS veto, ulangi pola 2024. Uni Eropa, lewat Josep Borrell, ancam potong bantuan € 500 juta ke Israel jika pelanggaran berlanjut, dengan Prancis dan Jerman pimpin boikot produk pemukiman Gaza.
Di Timur Tengah, Arab Saudi dan UEA—mitra Abraham Accords—kritik halus Trump: “Damai tak boleh satu sisi.” Hamas dari Gaza sebut gencatan senjata “tipuan”, tuntut jaminan internasional untuk fase dua: tukar sandera dan bantuan kemanusiaan. Respons AS: Wakil Presiden JD Vance bilang “ceasefire tetap kuat”, tapi data OCHA tunjukkan 10 ribu warga Gaza mengungsi lagi pasca-serangan, tambah 500 luka. Relatif dengan konflik Yaman, tekanan AS ke sekutu jadi ujian diplomasi Trump—ia janji “kesepakatan abadi” di COP30, tapi serangan ini erosi kredibilitasnya di mata 1,9 miliar umat Muslim global.
Implikasi untuk Perdamaian Gaza: Ancaman Fase Dua Gencatan Senjata
Pernyataan Trump picu kekhawatiran fase dua gencatan senjata: tukar 50 sandera Hamas dengan 1.000 tahanan Palestina, plus bantuan US$ 5 miliar untuk rekonstruksi Gaza. Serangan 28 Oktober—yang tewaskan 104 orang—bisa hentikan proses, karena Hamas tolak negosiasi jika Israel tak patuh. Analis Brookings Institute sebut: “Trump anggap ini ‘bukan masalah’ untuk jaga momentum, tapi langkah mundur dari rencana 20 poinnya.” Implikasinya: Gaza, yang 80 persen infrastrukturnya rusak, hadapi krisis kemanusiaan baru—kekurangan makanan naik 20 persen pasca-serangan, per laporan FAO.
Trump dorong Netanyahu janji “serangan terakhir”, tapi intelijen AS bocor: Israel rencana operasi lebih besar di Rafah. Hamas tuntut jaminan PBB, sementara Iran—sekutu proxy—ancam eskalasi. Relatif dengan Abraham Accords 2020, dukungan Trump bisa perkuat normalisasi Israel-UAE, tapi harga tinggi: protes global naik 30 persen, tekanan boikot BDS terhadap AS. Perdamaian Gaza kini bergantung Trump: ia harus tekan Israel untuk patuh, atau gencatan senjata runtuh—bawa perang baru di Timur Tengah.
Kesimpulan
Pernyataan Trump yang anggap ulah Israel saat gencatan senjata Gaza “bukan masalah” jadi kontroversi global yang perkuat Netanyahu tapi erosi kredibilitas AS. Dari dampak politik domestik hingga kecaman PBB, ini uji strategi Trump untuk damai Timur Tengah—di mana satu serangan bisa hancurkan fase dua gencatan senjata. Gaza, dengan 104 nyawa hilang baru-baru ini, butuh lebih dari kata-kata; ia butuh tindakan tegas untuk rekonstruksi dan jaminan. Trump, sebagai arsitek kesepakatan, punya kesempatan perbaiki: tekan sekutu untuk patuh, atau risiko perang panjang. Dunia tunggu langkah selanjutnya—karena di kawasan rawan, “bukan masalah” bisa jadi bom waktu.