Taliban Mengeksekusi Napi Pembunuh di Publik. Pada 2 Desember 2025, eksekusi publik kembali bergema di Afghanistan ketika Taliban menewaskan seorang pria dihormati Mangal di stadion olahraga kota Khost, timur negeri itu. Dihukum karena pembunuhan massal yang tewaskan 10 orang termasuk tiga wanita pada Januari lalu, Mangal ditembak di depan ribuan warga yang diwajibkan hadir. Ini jadi eksekusi ke-12 sejak Taliban kuasai Kabul pada 2021, bagian dari penerapan hukum syariah ketat yang mereka sebut qisas atau balasan setimpal. Pengadilan Tertinggi Taliban bilang proses hukum sudah teliti, tapi kritik internasional segera menggema—PBB sebut ini “siksaan kejam” yang langgar hak asasi. Di tengah ketegangan wilayah, momen ini ingatkan betapa hukum Taliban masih jadi alat kendali sosial, tinggalkan trauma bagi warga sipil yang dipaksa saksikan. INFO SLOT
Detail Eksekusi di Khost: Taliban Mengeksekusi Napi Pembunuh di Publik
Eksekusi itu berlangsung Selasa pagi di stadion sepak bola Khost, yang dipenuhi sekitar 5.000 orang setelah pengumuman resmi Taliban sebarkan sehari sebelumnya. Mangal, salah satu dari kelompok penyerang yang serang rumah keluarga di provinsi Paktia, divonis qisas setelah pengadilan militer tiga tingkat periksa kasusnya. Ia ditembak tiga kali di dada oleh anggota keluarga korban, sesuai tradisi Taliban di mana balasan dilakukan langsung oleh pihak yang dirugikan. Video amatir tunjukkan Mangal berdiri tenang di lapangan, dikelilingi petugas berpakaian hitam, sementara kerumunan diam tapi tegang. Pengadilan sebut serangan Januari itu tewaskan 10, termasuk tiga wanita, dan Mangal tak ampun meski keluarganya mohon rahmat. Ini mirip eksekusi November lalu di Gardez, di mana korban ditembak setelah keluar bangunan dengan tangan terangkat—pola yang bikin saksi bilang “rasanya seperti teater kematian”.
Latar Belakang Hukum Qisas Taliban: Taliban Mengeksekusi Napi Pembunuh di Publik
Qisas jadi inti hukum Taliban sejak 2021, di mana pembunuhan balas dengan kematian setimpal—perintah langsung dari pemimpin tertinggi Hibatullah Akhundzada. Sejak kuasai kekuasaan, mereka jalankan 12 eksekusi publik, naik dari nol di awal untuk tunjukkan “hukum dan ketertiban” pasca-kekacauan perang sipil. Sebelumnya, eksekusi Oktober di Badghis hukum pria yang bunuh suami-istri hamil besar, lagi-lagi oleh tangan keluarga korban. Taliban sebut ini cegah kejahatan, tapi data tunjukkan efek terbalik: kekerasan domestik naik 30 persen sejak 2021, kata laporan internal. Proses hukum mereka tak independen—pengadilan militer Taliban sering tuding langgar due process, tanpa akses pengacara atau banding internasional. Warga Khost bilang, “Kami datang karena takut, bukan karena setuju”—buktikan eksekusi ini lebih ke alat intimidasi daripada keadilan.
Respons Internasional dan Kritik HAM
Reaksi dunia langsung kencang. PBB, lewat Richard Bennett selaku pelapor khusus HAM Afghanistan, sebut eksekusi itu “kejam, tidak manusiawi, dan langgar hukum internasional”—langgar Kovenan Hak Sipil dan Politik yang Afghanistan ikuti. Amnesty International tuntut moratorium total hukuman mati, sebut ini “penghinaan berat pada martabat manusia”. Empat eksekusi April lalu di tiga provinsi—terbanyak satu hari—bikin pakar PBB gelar Taliban gunakan hukuman untuk kendali populasi, termasuk cambuk publik untuk 213 kasus sejak awal 2025. Taliban balas cuek: juru bicara bilang “kami jalankan syariah murni, bukan ikut budak Barat”. Tapi tekanan naik; Uni Eropa potong bantuan 20 juta dolar akhir November, sebut pelanggaran HAM sebagai alasan. Kelompok lokal seperti B’Tselem tolak kerjasama investigasi, anggap itu “pemutihan”.
Kesimpulan
Eksekusi Mangal di Khost lagi-lagi tunjukkan Taliban teguh pada qisas sebagai senjata ideologi, tapi tinggalkan luka abadi bagi Afghanistan yang sudah lelah perang. Dari 12 kematian publik sejak 2021 hingga kritik PBB yang tak henti, ini siklus kekerasan yang butuh intervensi global lebih tegas. Taliban klaim bawa ketertiban, tapi warga sipil yang dipaksa saksikan justru tambah trauma. Ke depan, tanpa moratorium, eksekusi seperti ini bakal lanjut—bukan solusi, tapi api yang bakar harapan damai. Saatnya dunia tak cuma kecam, tapi tekan nyata untuk hentikan siksaan ini.