Turis Ini Dituduh Bayar Miliaran Untuk Lihat Sipil Ditembaki. Kejaksaan di Milan, Italia, kembali membuka penyelidikan atas tuduhan mengerikan dari era Perang Bosnia 1992-1995. Sejumlah turis kaya raya, terutama dari Italia, diduga membayar hingga miliaran rupiah untuk ikut “safari penembak jitu” di bukit sekitar Sarajevo. Mereka bukan sekadar menonton, tapi ada yang turun tangan menembak warga sipil yang terjebak di kota terkepung. Tuduhan ini muncul dari pengaduan 17 halaman yang diajukan jurnalis Ezio Gavazzeni, didukung mantan hakim Guido Salvini dan mantan wali kota Sarajevo Benjamina Karic. Meski sudah 30 tahun berlalu, bukti saksi dan dokumen lama dari pengadilan internasional mulai digali lagi, membuat kasus “human safari” ini kembali jadi sorotan dunia. INFO SLOT
Latar Belakang Tuduhan Safari Manusia: Turis Ini Dituduh Bayar Miliaran Untuk Lihat Sipil Ditembaki
Perang Bosnia pecah setelah Yugoslavia runtuh, dengan Sarajevo terkepung pasukan Serbia Bosnia selama hampir empat tahun. Penembak jitu di bukit sekeliling kota jadi momok, menewaskan ribuan warga sipil yang cuma menyeberang jalan atau ambil air. Kini, tuduhan baru bilang ada orang asing kaya yang datang akhir pekan khusus untuk ikut menembak. Biayanya fantastis: hingga setara miliaran rupiah per hari, termasuk akomodasi, transportasi, dan senjata. Mereka datang dari Italia, Prancis, bahkan Rusia dan Inggris, difasilitasi oknum militer Serbia.
Saksi mata, termasuk warga Sarajevo yang selamat, cerita bagaimana orang asing berpakaian sipil muncul di posisi sniper dengan senapan lengkap. Beberapa hanya nonton melalui teropong, tapi ada yang tarik pelatuk sendiri. Pengaduan ke Milan sebut tur ini diatur lewat jaringan di Italia utara, dengan penerbangan dari Trieste ke wilayah terkendali Serbia. Ini bukan rumor baru—sudah ada bisik-bisik sejak 1990-an, tapi baru sekarang ada pengaduan resmi yang bikin jaksa bertindak serius.
Proses Penyelidikan dan Bukti yang Muncul: Turis Ini Dituduh Bayar Miliaran Untuk Lihat Sipil Ditembaki
Jaksa Milan sudah mulai kumpulkan berkas dari pengadilan kriminal internasional untuk Yugoslavia di Den Haag. Beberapa kesaksian lama di sidang itu sebut keberadaan “turis perang” yang bayar mahal untuk sensasi ekstrem. Mantan wali kota Sarajevo kirim dokumen tambahan, termasuk laporan intelijen Italia yang tahu soal ini sejak dulu. Intelijen militer Italia bahkan catat rencana penerbangan turis ke pegunungan sekitar kota.
Penyelidik harap bisa identifikasi pelaku, meski tantangannya besar: banyak saksi sudah meninggal, pelaku mungkin sudah tua atau mati. Tapi teknologi forensik modern dan akses arsip baru bisa bantu. Ini bukan kasus pertama soal turis perang—ada laporan serupa di konflik lain, tapi Bosnia jadi yang paling terdokumentasi karena kepungan Sarajevo yang ikonik. Jaksa tekankan, jika terbukti, ini kejahatan perang berat: pembunuhan sipil sistematis dengan motif hiburan.
Dampak Psikologis dan Reaksi Korban
Bagi penyintas Sarajevo, berita ini buka luka lama. Kota yang dulu dijuluki “neraka sniper” itu kehilangan lebih dari 11 ribu nyawa, termasuk 1.600 anak-anak. Mengetahui ada orang bayar mahal untuk ikut bunuh jadi pukulan baru. Banyak korban bilang, ini bukan cuma soal hukum, tapi pengakuan bahwa penderitaan mereka dijadikan komoditas. Reaksi di Bosnia campur aduk: ada yang lega akhirnya diselidiki, ada yang skeptis karena terlambat.
Di Italia, kasus ini picu debat etika turisme ekstrem. Meski pelaku mungkin sudah pensiun atau meninggal, penyelidikan bisa jadi pelajaran agar hal serupa tak terulang di konflik modern. Beberapa tentara asing yang bertugas waktu itu bilang sulit percaya, karena akses ke front sulit, tapi saksi lokal tegas bilang mereka lihat sendiri orang asing di pos sniper.
Kesimpulan
Tuduhan turis bayar miliaran untuk lihat atau ikut tembaki sipil di Sarajevo jadi pengingat kelam betapa perang bisa jadi hiburan bagi segelintir orang sakit. Penyelidikan di Milan beri harapan keadilan meski terlambat, sekaligus dorong dunia refleksi atas tanggung jawab moral di zona konflik. Bosnia sudah bangkit dari reruntuhan, tapi cerita seperti ini tunjukkan bekas luka tak pernah benar-benar hilang. Yang pasti, jika bukti kuat, ini bisa jadi kasus besar yang ubah cara kita lihat “dark tourism” di masa perang. Korban pantas dapat pengakuan, dan pelaku—jika masih hidup—harus jawab atas dosa masa lalu.